Jumat, 26 Juli 2013

CERITA MALAM:KASIH IBU SEPANJANG MASA, KASIH ANAK SEPANJANG GALAH



Setelah kemarin malam lusa mata sulit terpejam karena menanti kabar dari Pencerah Nusantara (karena menyangkut masa depan saya baik karir maupun keputusan kapan mengakhiri masa lajang....hehehe), malam ini mata kembali sulit terpejam padahal mata sudah terasa panas sejak masih di tempat kerja tadi. Usai mendengar kabar seorang pasien yang meninggal kemarin malam, rasanya ingin sedikit bercerita malam... 

Ny. S, masuk dengan intake kurang, terdapat oedem (bengkak di tungkai kiri) terdiagnosa thrombus vena femoralis usai dilakukan pemeriksaan USG Doppler tungkai. 

Ya, almarhumah memang bukan siapa-siapa saya, hanya, saya masih tidak habis pikir atas kondisinya saat terminasi sakitnya.

Hari pertama dirawat, dengan keadaan umum sedang, kesadaran composmentis. Kadang seperti berhalusinasi juga si… sempat melihat ibu-ibu di bed sebelah yang sebenarnya kosong, menganggap tangan sendiri dibilang tangan anaknya, dan esoknya kehilangan kakinya. Makan… baik, bahkan sangat banyak, nenek, begitu saya memanggilnya, pernah saya ceritakan cara makannya tampak seperti 1 minggu tak makan. Sekali waktu almrhumah menyimpan separuh kue snack pagi dari RS, “Buat ntar malam”, demikian ujarnya. Juga ketika saya menemukan satu  bungkus kue jatah RS tersembunyi di bawah sprei, “Takut dimakan kucing”, katanya, membuat banyak persangkaan dalam hati atas bagaimana kehidupannya, terutama makannya selama di rumah. Pernah bergumam juga kenapa anaknya tak ada yang disini, ingin ketemu anaknya. 

Hari pertama, menantu almarhumah meminta ijin katanya tidak ada yang bisa menunggui nenek selama di RS, karena baik dia, maupun istrinya-anak kandung si nenek- bekerja bahkan sudah mendapat SP karena beberapa kali tidak disiplin kerja usai mengurus ibunya-nenek tersebut. Panjang lebar ceritanya dari pekerjaan yang baru didapat sampai SP yang diperoleh padahal baru 2 minggu bekerja (curhat ya? batin saya saat itu yang kebetulan kondisi emosi dalam masa “PMS” –cuman cewek yang faham ;-) )Saya menjawab sebagaimana hubungan professional. Hanya, setelah beberapa hari perawatan keluarga sama sekali tak tampak usaha untuk turut memberi dukungan emosional, salah satu rekan sejawat memperingatkan si anak bahwa sentuhan si anak demikian berarti untuk pasien, di samping keterbatasan perawat untuk mengurus semua kebutuhan nenek. jadi ingat, sekali waktu nenek berucap “dok (awalnya memanggil kami para perawat dengan sebutan “dok”), disini aja si, bair kalo saya butuh apa-apa gampang”. Weijjaann…. pasien laen mau diapakan nek, demikian batin saya. Ya, cukup bisa dimaklumi mengapa nenek memintanya. “Suapin dok..” Bahkan faktor usia juga mungkin yang menginginkan sekali waktu nenek berujar demikian… 

“Kasian”, itu kesan saya setelah beberapa hari perawatan terhadapnya.  Pun ketika sekali waktu saya melihat anaknya merawat, meski hanya malam itu, sekedar mengganti pampers dengan omelan dari A hingga Z. sampai hari itu saya melihat nenek masih dalam kesadaran tanpa “keanehan”. Hingga esok hari  setelah saya out of charge (kalo ga salah usai turun malam), nenek sulit dikaji. “Ga mau makan dari kemarin sore” crita pasien sebelah. Nenek diam seribu bahasa! Saya rangsang nyeri, kadang respon, tapi kadang tidak. Kadang meresponnya dengan menjauh, kadang membuka mata, verba.. kadang ia merintih, tapi lebih banyak diam. 

Ingin menyimpulkan apatis bahkan somnolen, tapi ada cerita nenek sebenarnya cuma ngambek usai diomelin anak, menantu, plus pasien sebelah. Pun saat saya pasang NGT untuk kebutuha intakenya , ia membuka mata spontan, dengan jelas melihat, bisa diperintah untuk menelan selang, dan kooperatif. Saat ibu angkatnya (kata menantunya), datang menjenguk pun, nenek mau duduk, meski tak mau berucap apapun, hanya diam, padahal sebelumnya ia teriak hingga membuat tensi pasien sebelah naik. Di sisi lain, thrombus pada bna femoralis juga tidak bisa disepelekan.

Sempat saya menilai GCS nenek E4, M4 V1, tapi ragu bahwa itu respon psikis. Tekanan psikis atas kekurangperhatian dari anak-anak, bahkan ketika diskusi dengan dokter penanggungjawab pasien pun, idem. Sempat satu dua kali saya coba berbicara dengannya dengan serius, menanyakan dari “hati”, nenek tetap diam seribu bahasa. Padahal sebelumnya, sering saya menggoda almarhumah selalu ditanggapi- kadang ngeselin juga si.. maklum nini nini..  ^_^
 
Kondisinya ambigu antara penurunan kesadaran dan efek psikiatri. Sampai hari itu, saya baru tahu, ternyata si nenek memiliki 3 anak, 2 anak di kampong di Jawa, sedang 1 anaknya yang sesekali ke RS menjenguknya. Saudara, sudah tidak ada yang peduli, pun ketika dihubungi, tidak ada respon, demikian cerita menantunya.

Hingga akhirnya nenek dipindah ke HCU yang rencana awal akan dipindah ke ruang isolasi, dan terakhir sore ini saya mendengar kabar meninggalnya, jenazah menetap di RST sampai esok hari baru dibawa keluarga, terasa begitu “tidak berharga” nya kah nenek sebagai seorang ibu?? Sesibuk-sibuknya anak bekerja, benarkah untuk “sekedar” membawa pulang jenazah tak ada waktu..??!

Wallahu a’lam. tak mau banyak bersuudzon, hanya bisa mendoakan untuk kebaikannya. Semoga, saya dan pembaca sekalian, senantiasa berbuat baik pada orang tua. Merawat di masa tua, meski telah memiliki keluarga sendiri, Orang tua adalah alasa pertama kita ada di dunia….

Dari sisi keilmuan, adalah tantangan baru bagi para tenaga medis dan para medis untuk bisa menilai dengan tepat tingkat kesadaran pasien, juga menilai pasien secara holistic termasuk psikis nya.

Semoga bermanfaat

#Love You Mom…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Left message here...