Kulihat keningnya
terus berkerut sepanjang malam hingga pagi menjelang. Mungkin tak lama setelah
30 menit mata terpejam, ia kembali terbangun karna ketidaknyamanan yang ia
rasakan. Tangannya kurus, tapi oedem di kedua kakinya terutama kaki kiri
membuatnya tak nyaman. Belum lagi dengan BAK yang terus membanjiri tempat
tidurnya karena DC/Downk Catheter alias selang kateter pipis tak bisa dipasang
untuknya. Kompres hangat tidak lagi menjadi intervensi yang cukup baginya. Ia baru
terpejam tampak tidur terlelap tanpa kerutan kening setelah 1 ampul Tramadol
ekstra saya berikan, tentunya dengan persetujuan dokter jaga yang baru
mengangkat teepon konsulan pada panggilan saya yang kedua. Ia tampak terlelap,
dan dengan tega, jam setengah 6 pagi saya bangunkan karna ada obat yang harus
masuk.
Sebelum menyelesaikan
shift malam, saya tutup dengan aktivitas membantu personal higien pasien ini. Alhamdulillah,
sedikitnya pasien dengan keadaan umum yang baik, malam ini memberi saya waktu
yang cukup untuk membantu PH pasien.
Bermula dari
permohonan maafnya karena merasa sudah menyusahkan saya sepanjang malam,
meminta maaf karena tak mampu melakukan apapun sendiri bahkan utnuk mengangkat kakinya. Ya, manusiawi, tanpa
keluarga yag mendampingi di saat sakit seperti ini, merasa menjadi orang tak
berguna. Orang mana yang tak mau dimanjakan saat sakit parah menerpanynulis dan
pembaca pun mungkin sering mencari perhatian bahkan “sekedar” karena flu. Ia pun
mempertanyakan mengapa sakitnya tak kunjung sembuh, meski sempat saya hibur bahwa dosa-dosanya terhapus dengan sakitnya
itu, insyAllah, dan janji-janji-Nya yang lain.
Ia menangisi
3 anaknya yang tak kunjung datang bahkan untuk sekedar tahu kondisinya. Juga suami
yang sudah menikah lagi 2x. saya tak bisa menilai langsung keluarganya karena
ini cerita yang saya dengar dari satu pihak. Tapi benar tidaknya, satu hal yang
saya inginkan adalah agar tidak ada orang lain yang merasakan hal serupa pasien
ini. saat seperti ini, saya sadar betul bahwa keikhlasan dan kesabarannya
benar-benar diuji, yang mungkin saya sendiri belum tentu mampu melewatinya. Tanpa
keluarga, dalam kesakitan yang sangat, dan masih dalam pertanyaan-pertanyaan
kenapa ia masih dalam sakitnya yang begitu lama, air matanya pun terus keluar
saat aku mencoba ceritakan sebuah pengalaman-yang saya dapatkan juga dari
cerita orang- akan pasien yang sakit karena rasa dendam, amarah, kekecewaan,
yang belum ammpu hilang oleh rasa ikhlas. Mungkin bagi sebagian cerita ini
ibarat “logika”langit yang tidak semua orang mampu dan mau menerima serta
mencernanya. Tapi bagi saya, itu sangat masuk akal. Sebagaimana saat air liur
seperti akan menetes jika kita terbayang tau sekedar mendengar “mangga muda”,
rujak, dan lain sebgainya. Artinya, tubuh kita bisa jadi dikuasai oleh pikiran
kita yang kemudian diresapi oleh hati. Ketidakseimbangan sistem dalam tubuh
bisa jadi (sekali lagi, BISA JADI) karena kekacauan dalam pikiran atau “kotoran”
dalam hati. Pikiran kotor, tak tenang, penyakit-penyakit hati, kebencian,
kemarahan,dendam, kedengkian, saya rasa semua ikut andil dala mempengaruhi
sistem tubuh kita. Maka dari itu, teori body to body dan mind to mind, kini
telah disempurnakan dengan teori spirit to spirit. (Apresiasi untuk tim riset “The
spirit of self care” keperawatan undip yang turut mengembangkannya). Belum
banyak yang saya tahu tentang teori-teori ini. tapi satu hal yang saya pahami
adalah bagaimana menumbuhkan spirit, semangat, yang kemudian menjadi “pupuk”
untuk tubuh pasien.
Hadirnya body (tubuh), mind (pikiran), emosi, dan spirit sebagai
fondasi kehidupan manusia telah diterima dalam budaya-budaya asli sejak ribuan
tahun yang lalu dan saat ini semakin diperkaya dalam dialog dan pengalaman
sehari-hari. Dalam budaya Jawa dikenal konsep “Manunggaling Kawula Gusti”,
ajaran Syekh Siti Jenar (1426) -- meski terdapat pro dan kontra tentang ajaran
ini (termasuk apakah ia benar-benar pernah ada ataukah dia adalah sebuah filosofi).
Arti dari Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya saya dan Tuhan), tidak berarti
Syekh Siti Jenar menyebut dirinya sebagai Tuhan dan juga bukan bercampurnya
Tuhan dengan makhluk-Nya. Konsep ini menyatakan bahwa Sang Pencipta adalah
tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah
bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti
bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh dari Tuhan, dan persatuan
kehendak manusia dalam kehendak Tuhan akan berimplikasi pada pertanggungjawaban
manusia terhadap alam (lingkungannya), yang disebut hamamayu hayuning bawana
(http:// id.wikipedia.org /wiki/ Syekh_Siti_Jenar).
Dalam hal
ini, konsep body-mind-spirit sudah semestinya dimasukkan dalam intervensi
keperawatan. Mungkin di awal perkuliahan pendidikan perawat, masih ingat matkul
fundamental keperawatan yang mendiskusikan teori sehat. Bagaimanakah konsep
manusia sehat itu?Menurut WHO, dampak ‘sehat’ seseorang tidak hanya dirasakan
oleh individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi lingkungan sosialnya. Jadi,
tanpa orang lain yang mengakui bahwa ia sehat secara mental (misal diterima
oleh orang lain dan menerima orang lain), ia bukanlah seorang yang sehat secara
utuh. Individu yang positif body-mind-and spirit secara integratif pasti
berdampak positif pula bagi lingkungan sosialnya. Semakin seseorang mengenali
sumber kekuatan di dalam dirinya maka akan positif sikap pada dirinya.Di sisi
lain semakin seseorang mengenal lingkungan sekitarnya, (seharusnya) semakin ia
mampu memahami, mengontrol, dan menghadapinya secara efektif (Ray, 2004). Kedua
aspek tersebut paling tidak menjadi mediator penting sehingga kehidupan
internal seseorang pada akhirnya bermuara dalam kualitas kehidupan masyarakat
di mana ia turut memberi kontribusi.
Integrasi body-mind-spirit internal tidak mungkin dapat lepas dari apa yang terjadi di luar diri. Kontek kembali menjadi hal yang penting dan tidak bisa diabaikan.Nah, bercermin pada pemahaman ini, kita bisa bertanya pada diri sendiri: “Di manakah kita berada? Sudahkah kita meletakkan kedua kaki secara integratif ? Alih-alih menambah masalah masyarakat, sudahkah kita mempertimbangkan konteks sejarah dan kebutuhan masyarakat untuk mengambil bagian seoptimal mungkin?” Visi misi yang holistik seharusnya terinternalisasi dalam berbagai bentuk konkrit yang implementatif.
Berawal dari
berbagai pemahaman ini, pasien ini aku tantang dengan dua “TUGAS”,
menemukan kebencian/kemarahan, dan memaafkan serta melupakannya.
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, yang menghilangkan segala petaka, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari)
Satu
lagi, menjelang pulang, si pasien menyisipkan selembar kertas warna hijau
bertuliskan nominal Rp 20.000,-.. ^_^
(Tebak… diterima nggak….?)
Bogor,
05-05-13
luar biasa.. perawat memang seharusnya spt itu, melihat pasien secara untuh,, intervensi tidak hanya untuk fisik tapi untuk jiwa juga.. dan itu terbukti yg ditulis diakhir.. itu adalah bukti dia merasakan kehadiran perawat dan merasa di tolong..
BalasHapussalam hebat untuk perawat smart. :)
Salam!
BalasHapus