Ketidaksengajaan yang (kembali)
Membawaku pada makna hidup
Kisah
Bapak “P”dengan CKD stage V rutin Hemodialisis post penurunan kesadaran di ICU
Oleh
MutiaraHati
“Ketidaksengajaan”….
Memang benar adanya…. Pilihanku kali ini untuk mengambil peminatan di Renal Unit (hemodialisa) berawal dari “ketidaksengajaan”. Katakan, peminatan yang “asal-asalan”. Keinginan besar untuk bisa berpetualang ke Bogor tak bisa terlaksana karena “konon” tak ada kuota untuk angkatan saya. Kecewa…. PASTI.. Emosi? “agak”.. Aah, sepertinya bukan lagi “agak” saat tahu dari departemen terkait ternyata membuka kuota peminatan wound care. But…gimana lagi, peminatan perawatan luka yang semestinya masuk dalam peta hidupku untuk klinik yang ingin aku bangun kelak, kandas disini karena “sesuatu”, yang aku pikir bukan karna salahku. Masih marah? Tak semestinya…! Prinsip yang aku pegang bahwa setiap tempat yang aku lewati, setiap orang yang ku temui, dan setiap kejadian yang ku alami, bukanlah KEBETULAN belaka, melainkan rencana Allah untuk masa depanku, maka aku mulai mencoba menikmati “keadaan”. Bagai darah di pembuluh vena yang mengalir menuju atrium kanan jantung, teriring denyutan nadi yang mengikutinya, maka seperti itu pula stase peminatan mulai ku coba lewati.
Memang benar adanya…. Pilihanku kali ini untuk mengambil peminatan di Renal Unit (hemodialisa) berawal dari “ketidaksengajaan”. Katakan, peminatan yang “asal-asalan”. Keinginan besar untuk bisa berpetualang ke Bogor tak bisa terlaksana karena “konon” tak ada kuota untuk angkatan saya. Kecewa…. PASTI.. Emosi? “agak”.. Aah, sepertinya bukan lagi “agak” saat tahu dari departemen terkait ternyata membuka kuota peminatan wound care. But…gimana lagi, peminatan perawatan luka yang semestinya masuk dalam peta hidupku untuk klinik yang ingin aku bangun kelak, kandas disini karena “sesuatu”, yang aku pikir bukan karna salahku. Masih marah? Tak semestinya…! Prinsip yang aku pegang bahwa setiap tempat yang aku lewati, setiap orang yang ku temui, dan setiap kejadian yang ku alami, bukanlah KEBETULAN belaka, melainkan rencana Allah untuk masa depanku, maka aku mulai mencoba menikmati “keadaan”. Bagai darah di pembuluh vena yang mengalir menuju atrium kanan jantung, teriring denyutan nadi yang mengikutinya, maka seperti itu pula stase peminatan mulai ku coba lewati.
Tuut…..
tuut …… tuut….tuut….
Suara
pertama dari mesin hemmodialisis yang ku dengar di ruang ini, dan aku belum tahu dimana letak tombol “mute” di mesin itu (kalo ada Om Thukul, mungkin
aku dah dikatain “katro”). Aiihh… untung
Tuhan memberiku mata dan kemampuan membaca. Kulihat sekotak kecil di pojok
kanan mesin bertuliskan “mute” yang akhirnya bisa mendiamkan mesin itu. Aish…. aku belum mengenalmu wahai mesin,
ayolah, ta’aruf dengan baik denganku.
Bersyukur,
perawat ruangan yang ramah sedia mengajariku, dan rekanku tentunya, dengan
“senyum”. Eh eh ej,, sepertinya aku akan betah saja disini, meski masih asing
dengan blood line, proses-proses priming, soaking, hingga rinsing. Aish… dengan dialyzer saja aku
baru melihatnya kali ini.. (oops…).
Alhamdulilah, aku diperkenalkan dengan baik dengan alat-alat dan
istilah-istilah di ruangan, membuat otakku mampu bekerja sama dengan hati untuk
menerima penjelasan.
Keluar dari rutinitas
memasuki rutinitas baru. Memang itulah yang aku cari, yang
kemudian menjadi mata rantai tak terputus sebagaimana rantai DNA dalam tubuh.
Peminatan yang aku pilih untuk keluar dari rutinitas ruangan pada umumnya,
membawaku pada Renal Unit, memperkanalkanku
dengan proses-proses dialysis darah, sesuatu
yang baru kufikir. Pasti asyik. Ruang ini…membuatku semakin kagum
dengan-Nya setiap kali terfikir betapa hebatnya Allah menciptakan sistem tubuh
kita, yang jika dengan “Kun fa Yakun”-Nya
saja bisa merubah dan membolak balikkan semua sistem….
Akibat
“kesalahan” pola hidup (atau gaya hidup
ya?) manusia yang kerap kali “merusak” ciptaan-Nya, manusia harus merasakan
sakitnya ditusuk dengan jarum fistula
sebesar lidi (jarum lho….) tiap 2 kali per pekan (garis bawah, 2x per pekan, bukan 2 pekan 1x).
Allah.... terima kasih untukku yang masih
menjaga ginjal ku untuk bisa memproses darah sebagaimana mestinya, hingga kadar
ureum kreatinin dan kawan-kawan masih bisa ditolerir tanpa bantuan alat ini.
Kembali
pada rutinitas seorang perawat “pembelajar”.
Hari
kedua sepertinya sudah mulai aku nikmati. Ah, bukan menikmaainya, tapi mengenalnya. Aku
mulai mengenal bagaimana memutar penutup dialyzer,
memutar blood pump, menutup dan
membuka klem (aish… agak konyol
memang, sekedar klem saja aku butuh perkenalan). Akhirnya, hari ketiga aku baru
bisa mandiri merakit mesin ini. Si tabung “pengganti” ginjal yang harus ku
pasang di handle, menghubungkannya
dengan blood line, membilasnya untuk
membersihkan renalin sisa-sisa proses
sterilisasi pada re-use kemarin, dan
kemudian mensirkulasinya sepanjang blood
line yang nanti akan menghubungkannya pada arteri dan vena untuk kemudian
menarik dan mendorong darah untuk keluar dari tubuh dan memasukkannya kembali
ke dalam tubuh setelah melewati proses difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi di dialyzer. Aih.. memang rumit… tapi
begitu sederhana jika dibandingkan sistem yang Allah ciptakan memang. (bertambah
bersyukur saat menulis ini).
Eh eh, sebenarnya mau
dibawa kemana arah ceritaku ini ya? Don’t be confuse please!
Proses
dialysis ini hanya sekelumit yang ingin aku tuliskan untuk prolog saja. Aku
hanya ingin menceritakan seorang pasien Bapak “P” yang di hari ke-2 aku di
ruang itu, beliau menceritakan kisah “perjalanan”nya. Saat melepas dialyzer selesai pakai dan merapikan
mesin, saya diminta membantu menekan “depress” untuk menekan bekas tusukan
fistula yang baru saja sebagai jalan keluar dan masuk darah dari dan ke dalam
pembuluh darah dalam tubuh.
Srrttt…..
srrtt….. srttt……
Dug…
dug…. dug…
Srrtt…..srtt..
….srtt…..srrttt
Berdesir;..
itu yang aku rasakan di telunjuk tanganku ini saat menekanya. Lebay? Ya… mungkin, bagi perawat-perawat
yang sudah terbiasa dengan rutinitas ini, perasaan ini terlalu lebay untuk diceritakan, tapi ini salah
satu pekerjaan menyenangkan yang ada di ruangan ini.
Subhanallah..
seperti inikah aliran darah dalam tubuh kita… merasakan, ketika setiap “sssrrttt’’
kita bisikkan asma Allah dengan ikhlas.... betapa tiap “sssrrtt” aliran darah
ini seakan teriring rahmat Allah…
“Allahumma
Isyfii antassyafi”
Jikalau
sepenggal doa ini ada tiap “ssssrrrtt” itu… bukankah Allah memang Maha Pemberi
kesembuhan?
Aku
menyukainya… menyukai tiap “sssrrrt” itu.. (tentunya
tanpa melupakan tekanan padanya, jika tak ingin darah mengucur keluar.. hehe)
Tak
hanya itu, sekian menit yang ku butuhkan untuk menekannya agar darah tak lagi
mengucur, Pak P menceritakan pengalamannya. Riwayat 9 hari rawat inap di
IC,garis bawah 9 hari di ICU dengan penurunan kesadaran, karena sakit ginjal,
tidak sama sekali bisa aku duga melihat tampilan fisik yang sekilas tak tampak
bahwa beliau seorang yang sakit. Wajah belliau segar, (meski lama-lama diperhatikan
ternyata tampak agak kehitaman mungkin efek samping dari penyakit dan terapi
yang dijalaninya), tapi beliau tampak segar tak ada tampilan “loyo”. Eit,
selama 3x terapi tak pernah aku melihatnya diantar seseorang, katanya, “masih
bisa sendiri ko mbak”. Hmm…. Jadi malu pada diri yang masih sehat ini tapi
seringkali masih suka merepotkan orang lain.
Kembali
pada perjalanan 9 hari, beliau dibawa orang berpakaian putih putih, dokter dan
perawat mungkin, begitu beliau ceritakan. Dibawa ke lapangan luas, “ndak ngerti itu siapa orang-orang, ga kenal
semua”, dan sebelum akhirnya sadar “anak
saya tu manggil saya, ‘pak, sini pak’, sama istri saya juga manggil saya, meski
ga liat wajah mereka, tapi saya tu denger , ‘Pak, masa mau ninggalin Ibu
sendiri’”.
Sempat
saya tanya ulang cerita yang di lapangan itu, karena ada beberapa statement yang
terputus…tak terdengar.. Eitss.. bukan
karena penurunan “audio”ku lho ya , ni stetoskop ternyata masih nyumpel di
telinga abis nensi.. hehe.
“Dan..
akhirnya saya sadar, dan ini, harus HD rutin 2x per pekan. Ya.. dari situ saya
sadar, apa yang saya cari selama ini, pekerjaan-pekerjaan yang membuat saya
lalai, dan jauh dari Allah, mungkin itu cara Allah memperingatkan saya.
Alhamdulilllah.. membuat saya mendekat pada-Nya….”
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
untuk
kita yang masih bergelimang dosa.. dan mungkin masih hobby taubat sambel.. “ah, jam ini mau ndosa dulu ndak papa, nanti
kan masih bisa taubat”.. apa harus dikasih penurunan kesadaran dulu, melihat
keluarga rekoso mengeluarkan dana untuk pengobatan kita, atau merasakan
dikumpulkan di “lapangan” dibawa orang berpakaian putih-putih, baru bertaubat?
Hidup “kedua”,
tak semua orang memperolehnya untuk “sekedar” bertaubat….
Ketidaksengajaan
yang kembali membawaku pada makna hidup..
Setinggi apapun mimpi yang ingin kita raih.. mari memanajemen IMAN, karena Allah selalu ada dan agar kita selalu menyadari keberadaan-Nya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Left message here...