Sabtu, 10 November 2012

Ketidaksengajaan yang (kembali) Membawaku pada makna hidup



Ketidaksengajaan yang (kembali) Membawaku pada makna hidup
Kisah Bapak “P”dengan CKD stage V rutin Hemodialisis post penurunan kesadaran di ICU
Oleh MutiaraHati

“Ketidaksengajaan”….
Memang benar adanya…. Pilihanku kali ini untuk mengambil peminatan di Renal Unit (hemodialisa) berawal dari “ketidaksengajaan”. Katakan, peminatan yang “asal-asalan”. Keinginan besar untuk bisa berpetualang ke Bogor tak bisa terlaksana karena “konon” tak ada kuota untuk angkatan saya. Kecewa…. PASTI.. Emosi? “agak”.. Aah, sepertinya bukan lagi “agak” saat tahu dari departemen terkait ternyata membuka kuota peminatan wound care. But…gimana lagi, peminatan perawatan luka yang semestinya masuk dalam peta hidupku untuk klinik yang ingin aku bangun kelak, kandas disini karena “sesuatu”, yang aku pikir bukan karna salahku. Masih marah? Tak semestinya…! Prinsip yang aku pegang bahwa setiap tempat yang aku lewati, setiap orang yang ku temui, dan setiap kejadian yang ku alami, bukanlah KEBETULAN belaka, melainkan rencana Allah untuk masa depanku, maka aku mulai mencoba menikmati “keadaan”. Bagai darah di pembuluh vena yang mengalir menuju atrium kanan jantung, teriring denyutan nadi yang mengikutinya, maka seperti itu pula stase peminatan mulai ku coba lewati.

Tuut….. tuut …… tuut….tuut….

Suara pertama dari mesin hemmodialisis yang ku dengar di ruang ini, dan aku belum tahu dimana letak tombol “mute” di mesin itu (kalo ada Om Thukul, mungkin aku dah dikatain “katro”). Aiihh… untung Tuhan memberiku mata dan kemampuan membaca. Kulihat sekotak kecil di pojok kanan mesin bertuliskan “mute” yang akhirnya bisa mendiamkan mesin itu. Aish…. aku belum mengenalmu wahai mesin, ayolah, ta’aruf dengan baik denganku.
Bersyukur, perawat ruangan yang ramah sedia mengajariku, dan rekanku tentunya, dengan “senyum”. Eh eh ej,, sepertinya aku akan betah saja disini, meski masih asing dengan blood line, proses-proses priming, soaking, hingga rinsing. Aish… dengan dialyzer saja aku baru melihatnya kali ini.. (oops…). Alhamdulilah, aku diperkenalkan dengan baik dengan alat-alat dan istilah-istilah di ruangan, membuat otakku mampu bekerja sama dengan hati untuk menerima penjelasan.
Keluar dari rutinitas memasuki rutinitas baru. Memang itulah yang aku cari, yang kemudian menjadi mata rantai tak terputus sebagaimana rantai DNA dalam tubuh. Peminatan yang aku pilih untuk keluar dari rutinitas ruangan pada umumnya, membawaku pada Renal Unit, memperkanalkanku dengan proses-proses dialysis darah, sesuatu yang baru kufikir. Pasti asyik. Ruang ini…membuatku semakin kagum dengan-Nya setiap kali terfikir betapa hebatnya Allah menciptakan sistem tubuh kita, yang jika dengan “Kun fa Yakun”-Nya saja bisa merubah dan membolak balikkan semua sistem….
Akibat “kesalahan” pola hidup (atau gaya hidup ya?) manusia yang kerap kali “merusak” ciptaan-Nya, manusia harus merasakan sakitnya ditusuk dengan jarum fistula sebesar lidi (jarum lho….) tiap 2 kali per pekan (garis bawah, 2x per pekan, bukan 2 pekan 1x). 
Allah.... terima kasih untukku yang masih menjaga ginjal ku untuk bisa memproses darah sebagaimana mestinya, hingga kadar ureum kreatinin dan kawan-kawan masih bisa ditolerir tanpa bantuan alat ini.
Kembali pada rutinitas seorang perawat “pembelajar”.
Hari kedua sepertinya sudah mulai aku nikmati.  Ah, bukan menikmaainya, tapi mengenalnya. Aku mulai mengenal bagaimana memutar penutup dialyzer, memutar blood pump, menutup dan membuka klem (aish… agak konyol memang, sekedar klem saja aku butuh perkenalan). Akhirnya, hari ketiga aku baru bisa mandiri merakit mesin ini. Si tabung “pengganti” ginjal yang harus ku pasang di handle, menghubungkannya dengan blood line, membilasnya untuk membersihkan renalin sisa-sisa proses sterilisasi pada re-use kemarin, dan kemudian mensirkulasinya sepanjang blood line yang nanti akan menghubungkannya pada arteri dan vena untuk kemudian menarik dan mendorong darah untuk keluar dari tubuh dan memasukkannya kembali ke dalam tubuh setelah melewati proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi di dialyzer. Aih.. memang rumit… tapi begitu sederhana jika dibandingkan sistem yang Allah ciptakan memang. (bertambah bersyukur saat menulis ini).

Eh eh, sebenarnya mau dibawa kemana arah ceritaku ini ya? Don’t be confuse please!

Proses dialysis ini hanya sekelumit yang ingin aku tuliskan untuk prolog saja. Aku hanya ingin menceritakan seorang pasien Bapak “P” yang di hari ke-2 aku di ruang itu, beliau menceritakan kisah “perjalanan”nya. Saat melepas dialyzer selesai pakai dan merapikan mesin, saya diminta membantu menekan “depress” untuk menekan bekas tusukan fistula yang baru saja sebagai jalan keluar dan masuk darah dari dan ke dalam pembuluh darah dalam tubuh. 

Srrttt….. srrtt….. srttt……

Dug… dug…. dug…

Srrtt…..srtt.. ….srtt…..srrttt

Berdesir;.. itu yang aku rasakan di telunjuk tanganku ini saat menekanya. Lebay? Ya… mungkin, bagi perawat-perawat yang sudah terbiasa dengan rutinitas ini, perasaan ini terlalu lebay untuk diceritakan, tapi ini salah satu pekerjaan menyenangkan yang ada di ruangan ini.
Subhanallah.. seperti inikah aliran darah dalam tubuh kita… merasakan, ketika setiap “sssrrttt’’ kita bisikkan asma Allah dengan ikhlas.... betapa tiap “sssrrtt” aliran darah ini seakan teriring rahmat Allah…
“Allahumma Isyfii antassyafi”
Jikalau sepenggal doa ini ada tiap “ssssrrrtt” itu… bukankah Allah memang Maha Pemberi kesembuhan?
Aku menyukainya… menyukai tiap “sssrrrt” itu.. (tentunya tanpa melupakan tekanan padanya, jika tak ingin darah mengucur keluar.. hehe)
Tak hanya itu, sekian menit yang ku butuhkan untuk menekannya agar darah tak lagi mengucur, Pak P menceritakan pengalamannya. Riwayat 9 hari rawat inap di IC,garis bawah 9 hari di ICU dengan penurunan kesadaran, karena sakit ginjal, tidak sama sekali bisa aku duga melihat tampilan fisik yang sekilas tak tampak bahwa beliau seorang yang sakit. Wajah belliau segar, (meski lama-lama diperhatikan ternyata tampak agak kehitaman mungkin efek samping dari penyakit dan terapi yang dijalaninya), tapi beliau tampak segar tak ada tampilan “loyo”. Eit, selama 3x terapi tak pernah aku melihatnya diantar seseorang, katanya, “masih bisa sendiri ko mbak”. Hmm…. Jadi malu pada diri yang masih sehat ini tapi seringkali masih suka merepotkan orang lain.
Kembali pada perjalanan 9 hari, beliau dibawa orang berpakaian putih putih, dokter dan perawat mungkin, begitu beliau ceritakan. Dibawa ke lapangan luas, “ndak ngerti itu siapa orang-orang, ga kenal semua”, dan sebelum akhirnya sadar “anak saya tu manggil saya, ‘pak, sini pak’, sama istri saya juga manggil saya, meski ga liat wajah mereka, tapi saya tu denger , ‘Pak, masa mau ninggalin Ibu sendiri’”.
Sempat saya tanya ulang cerita yang di lapangan itu, karena ada beberapa statement yang terputus…tak terdengar.. Eitss.. bukan karena penurunan “audio”ku lho ya , ni stetoskop ternyata masih nyumpel di telinga abis nensi.. hehe.
“Dan.. akhirnya saya sadar, dan ini, harus HD rutin 2x per pekan. Ya.. dari situ saya sadar, apa yang saya cari selama ini, pekerjaan-pekerjaan yang membuat saya lalai, dan jauh dari Allah, mungkin itu cara Allah memperingatkan saya. Alhamdulilllah.. membuat saya mendekat pada-Nya….”
Allahu Akbar!
untuk kita yang masih bergelimang dosa.. dan mungkin masih hobby taubat sambel.. “ah, jam ini mau ndosa dulu ndak papa, nanti kan masih bisa taubat”.. apa harus dikasih penurunan kesadaran dulu, melihat keluarga rekoso mengeluarkan dana untuk pengobatan kita, atau merasakan dikumpulkan di “lapangan” dibawa orang berpakaian putih-putih, baru bertaubat?

Hidup “kedua”, tak semua orang memperolehnya untuk “sekedar” bertaubat….

Ketidaksengajaan yang kembali membawaku pada makna hidup..

Setinggi apapun mimpi yang ingin kita raih.. mari memanajemen IMAN, karena Allah selalu ada dan agar kita selalu menyadari keberadaan-Nya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Left message here...