Selasa, 28 Agustus 2012

Paru-paru:si kembar


Apa kabar rekan?
Semoga senatiasa dalam keadaan sehat dan dalam semangat untukterus menebar manfaat.
Sebelum ini saya posting tentang si kecil jantung, kali ini saya aka bercerita tentang apsien saya yang bermasalah pada si kembar teman jantung juga.. paru-paru. Semoga posting kali ini bisa bermanfaat untuk rekans yang ingin menambah hasanah ilmu kesehatan, maupun rekans yang ingin nambah bacaan buat ngelola pasien dengan masalah yang sama. Satu hal yang pasti, kita semua memiliki faktor resiko terpapar dengan sumber-sumber permasalaha timbulnya risiko penyakit ini. (Saya juga tidak terlepas dari risiko ini karena kebiasaan saya terpapar asap rokok, asap kendaraan saat perjalanan ama si Browny di jalan.. Ooooww…)
Hmm… semoga kita sehat hingga akhir hayat ya…

Salam sehat!!!

Beliau seorang lelaki berusia 62 tahun yang menderita COPD atau Chronic Obstructive Pulmonal Disease alias Penyakit paru obstruksi akut (PPOK). Pasien yang sudah dirawat 2 hari di RS saat bersua dengan saya ini, katanya datang ke RS dengan keluhan sesak nafas, batuk-batuk, dan sesak tidak kunjung sembuh. Seringkali untuk beraktivitas berat, sesak terasa sangat berat. (so.. hati-hati untuk rekans yang sering merasa sesak nafas ya… bukan karena dompetnya yang sesak lho ya… *_~)
Berikut pembahasan yang saya buat berdasarkan tinjauan penyakit dan kelolaan saya yang berdasarkan konsep asuhan keperawatan dengan melibatkan “Metode Sowan” yang diperkenalkan salah seorang dosen saya yang hebat.
A.    HASIL PENGKAJIAN
1.      Anamnesis
Diagnosa COPD ditegakkan berdasarkan pemeriksaan yang diberikan pada klien. Hasil anamnesis menunjukkan terdapat riwayat paparan dengan faktor resiko (merokok) –Nha lho.. lagi-lagi MEROKOK jadi biang kerok!!!-, riwayat HT, tetapi tidak ada riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktivitas, dll
COPD disebabkan oleh iritasi yang berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan. Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.
Merokok menjadi faktor resiko utama dari COPD yang dialami klien. (Nha lho...) Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan sehingga ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Kemudian, timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps.4 hal ini menjadi salah satu anamnesa penyakit yang terjadi pada klien Tn. K yang memiliki riwayat merokok.

PEMERIKSAAN SPUTUM
Chronic Obstructive Pulmonum Desease (COPD) atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok.
Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas Hill dkk menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktivitas mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutral) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat. Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan. Hal ini yang mendasari tindakan pemeriksaan bakteriologi pada Tn. K untuk menentukan terapi yang sesuai dengan sensitivitas kuman pada klien.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk. mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15- 30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, temyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum.
Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi. Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring.
Pemeriksaan sputum diperlukan pada Tn. K untuk memastikan diagnosa PPOK pada Tn. K. Membran mukosa saluran pernapasan berespons terhadap inflamasi dengan meningkatkan keluaran sekresi yang sering mengandung organisme penyebab. Hal yang harus diperhatikan adalah untuk memperhatikan dan mencatat volume, konsistensi, warna dan bau sputum. Pemeriksaan sputum yang dilakukan mencakup pemeriksaan :
1.     Pewarnaan Gram, pemeriksaan ini memberikan cukup informasi tentang organisme yang cukup untuk menegakkan diagnose presumtif. Dalam kasus Tn. K hasil pemeriksaan pewarnaan gram tertanggal 31 Juli 2012 menunjukkan hasil positif pada kuman bentuk batang gram negatif dan Diplococcus.
2.     Kultur Sputum mengidentifikasi organisme spesifik untuk menegakkan diagnose definitif. Untuk keperluan pemeriksaan ini, sputum harus dikumpulkan sebelum dilakukan terapi antibiotic dan setelahnya untuk menentukan kemanjuran terapi.
3.     Basil Tahan Asam (BTA) menentukan adanya mikobacterium tuberculosis, yang setelah dilakukan pewarnaan bakteri ini tidak mengalami perubahan warna oleh alcohol asam.

Sebaiknya klien diinformasikan tentang pemeriksaan ini sehingga akan dapat dikumpulkan sputum yang benar-benar sesuai untuk pemeriksaan ini. Instruksikan pasien untuk mengumpulkan hanya sputum yang berasal dari dalam paru-paru. (Karena sering kali jika klien tidak di jelaskan demikian, klien akan mengumpulkan saliva dan bukan sputum). Biasanya dibutuhkan sekitar 4 ml sputum untuk suatu pemeriksaan laboraturium. Implikasi keperawatan untuk pengumpulan sputum termasuk :
a.       Klien yang kesulitan dalam pembentukan sputum atau mereka yang sangat banyak membentuk sputum dapat mengalami dehidrasi, perbanyak asupan cairan klien.
b.      Kumpulkan sputum sebelum makan dan hindari kemungkinan muntah karena batuk.
c.       Instruksikan klien untuk berkumur dengan air sebelum mengumpulkan specimen untuk mengurangi kontaminasi sputum.
d.      Instruksikan klien untuk mengingatkan dokter segera setelah specimen terkumpul sehingga specimen dapat dikirim ke laboraturium secepatnya
(Faud, 2011)

Pada dasarnya, pada penderita PPOK akan timbul
1.      Hipoksia dan asidosis.
Hipoksia akan mengakibatkan timbulnya polisitemia, hipervolemia dan meningkatnya cadiac output secara bersama-sama sehingga menyebabkan hipertensi pulmonalis. Hipertensi pulmonalis dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung secara berulang-ulang. Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia, hipervolemia dan meningkatnya cardiac output. Akhirnya akan timbul kegagalan jantung kanan. Dari patofisiologi ini dapat dimengerti, bahwa yang memegang peranan panting yang mengakibatkan timbulnya kor pulmonale pada PPOK ialah faktor frsiologik yaitu hipoksia dan asidosis.
Pada kasus Tn. S, ditemukan bahwa hasil pemeriksaan EKG saat klien datang adalah gambaran Supraventrikel Takikardi yang ditandai dengan frekuensi jantung yang cepat ( 150-280/menit) dan teratur, yang berasal dari suatu rangkaian 3 atau lebih kontraksi prematur fokus supraventrikular. SVT mungkin ditemukan pada jantung yang       secara anatomi normal atau dapat disertai dengan saluran pintas pada salah satu sindrom pre-eksitasi.
2.      Berkurangnya kapasitas "vasculer--bed" paru, yang bisa disebabkan karena kelainan anatomis dari vaskuler paru.
Faktor kelainan anatomis dari vasculer--bed paru tidak begitu panting peranannya. Apabila faktor fisiologik ini dapat diperbaiki dengan jalan mengatasi hipoksianya maka penderita kor pulmonale dapat disembuhkan. Dengan kata lain kelainan bilik kanan jantung pada penderita kor pulmonale yang disebabkan oleh karena PPOK adalah bersifat reversibel.

B.     PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa 1
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan permeabilitas membran kapiler alveolar
Gangguan pertukaran gas adalah masalah yang sering muncul terjadi pada klien dengan masalah PPOK.  Penegakan etiologi perlu dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan penunjang laboratorium kimia darah untuk menentukan nilai elektrolit dan Analisa Gas Darah untuk mengetahui adanya gangguan metabolik bahkan adanya gangguan pernapasan.
Oleh karena itu, diperlukan beberapa pemeriksaan untuk menegakkan diagnose ini. Salah satu pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah. Pada Tn. K, tampak pemanjangan nilai AADO2 yang memperkuat analisa terjadinya gangguan diskusi gas pada membrane alveolar. Status respirasi berupa RR 35 x/menit, frekuensi cepat dan dangkal, serta tampak pemanjangan fase ekspirasi.

Diagnosa 2
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut
Pola nafas yang tidak efektif tampak pada pengkajian status respirasi klien.

C.     INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnose 1
Tujuan dari memperbaiki pertukaran gas yaitu untuk mengurangi brokospasme akibat adanya peningkatan pembentukan mukus karena dapat  memgakibatkan penurunan aliran udara dan yang diperburuk oleh kehilangan daya elastisitas paru klien yang memiliki riwayat PPOK sebelumnya.
Intervensi yang dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Nursing Intervention Classification yaitu sebagai berikut.
Positioning (0840)
Klien diposisikan semi fowler sehingga mengurangi sesak napas yang dirasakan. Selain itu, sebagai program rehabilitasi diperlukan latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial.

Oxygen Therapy (3320)
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus dipantau  secara ketat karena terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi koalitas hidup. Ventimask adalah cara paling efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.
Pasien COPD akan mengalami hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. Tanda klinik yang dikaitkan dengan hiperkapnia adalah sakit kepala (vasodilatasi serebral), asteriksis atau tremor kasar pada tangan yang teregang (flaping tremor), dan volume denyut nadi yang penuh disertai tangan dan kaki yang terasa panas dan berkeringat (akibat vasodilatasi perifer karena hiperkapnia). Hiperkapnia kronik akibat penyakit paru kronik dapat mengakibatkan pasien sangat toleran terhadap PaCO2 yang tinggi, sehingga pernapasan terutama dikendalikan oleh hipoksia. Dalam keadaan ini, bila diberikan oksigen, pernapasan akan dihambat sehingga hiperkapnia bertambah berat.
Respiratory Monitoring (3350)
Vital Signs Monitoring (6680)
Medication management (2380)
1)      Bronkodilator
a.       Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi
b.       Secara inhalasi (MDI), klien mendapatkan terapi inhalasi /4 jam Atroven: Bisolvon: Berotec: NaCl =1:1:1:2
c.        Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
d.       3 golongan :
1.       Agonis -2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol
2.       Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid
3.       Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2 dan steroid belum memuaskan
2)      Steroid
a.       PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid
b.       PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat III dan IV)
c.        Eksaserbasi akut
3)      Obat-obat tambahan lain
a.       Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol, karbosistein, gliserol iodida
b.       Antioksidan : N-Asetil-sistein
c.        Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin
d.       Antitusif : tidak rutin
e.        Vaksinasi : influenza, pneumokokus

D.    EVALUASI KEPERAWATAN
Secara garis besar penatalaksanaan bertujuan mengatasi dan menghilangkan obstruksi, mempertahankan bronkodilatasi dan mencegah atau mengurangi perburukan penyakit. Ketika klien di rawat diruangan, hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian terapi oksigen, dan pantau tanda-tanda vital serta hemodinamik. Tak kalah pentingnya adalah tahap rehabilitasi. Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan napas, perkusi dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan penderita.13
Berdasarkan tujuan dan criteria hasil yang dibuat pada nursing care plan, dua masalah keperawatan utama, evaluasi didapatkan bahwa kedua masalah teratasi sehingga di hari ke-3 perawatan (hari ke-5 rawat inap), klien sudah boleh pulang.
Diagnose 1
Penurunan nilai RR menjadi mendekati batas normal (28 x/menit ), pengurangan rasa sesak pada klien, TD: 100/70 mmHg, nadi: 90x/menit, reguler pulsasi kuat.
Selanjutnya, diperlukan discharge planning, berupa pendkesh meminum obat di rumahdan pola hidup bersih dan sehat.
Diagnose 2
Pola nafas dinilai sudah efektif dilihat dari status respirasi, status kardiopulmonari yang salah satunya tergambar pada pemeriksaan EKG sehingga klien diberi discharge planning untuk selanjutnya perawatan oleh keluarga di rumah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Left message here...