Apa kabar rekan?
Semoga senatiasa
dalam keadaan sehat dan dalam semangat untukterus menebar manfaat.
Sebelum ini saya
posting tentang si kecil jantung, kali ini saya aka bercerita tentang apsien
saya yang bermasalah pada si kembar teman jantung juga.. paru-paru. Semoga
posting kali ini bisa bermanfaat untuk rekans yang ingin menambah hasanah ilmu
kesehatan, maupun rekans yang ingin nambah bacaan buat ngelola pasien dengan
masalah yang sama. Satu hal yang pasti, kita semua memiliki faktor resiko
terpapar dengan sumber-sumber permasalaha timbulnya risiko penyakit ini. (Saya
juga tidak terlepas dari risiko ini karena kebiasaan saya terpapar asap rokok,
asap kendaraan saat perjalanan ama si Browny di jalan.. Ooooww…)
Hmm… semoga kita sehat hingga
akhir hayat ya…
Salam sehat!!!
Beliau seorang
lelaki berusia 62 tahun yang menderita COPD atau Chronic Obstructive Pulmonal
Disease alias Penyakit paru obstruksi akut (PPOK). Pasien yang sudah dirawat 2
hari di RS saat bersua dengan saya ini, katanya datang ke RS dengan keluhan
sesak nafas, batuk-batuk, dan sesak tidak kunjung sembuh. Seringkali untuk
beraktivitas berat, sesak terasa sangat berat. (so.. hati-hati untuk rekans
yang sering merasa sesak nafas ya… bukan karena dompetnya yang sesak lho ya…
*_~)
Berikut pembahasan
yang saya buat berdasarkan tinjauan penyakit dan kelolaan saya yang berdasarkan
konsep asuhan keperawatan dengan melibatkan “Metode Sowan” yang diperkenalkan
salah seorang dosen saya yang hebat.
A. HASIL
PENGKAJIAN
1. Anamnesis
Diagnosa COPD ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan yang diberikan pada klien. Hasil anamnesis menunjukkan terdapat
riwayat paparan dengan faktor resiko (merokok) –Nha lho.. lagi-lagi MEROKOK
jadi biang kerok!!!-, riwayat HT, tetapi tidak ada riwayat keluarga PPOK,
riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak
penyakit terhadap aktivitas, dll
COPD disebabkan oleh iritasi yang
berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari
faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai
adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama
dari protease serin.
Merokok menjadi faktor resiko utama dari
COPD yang dialami klien. (Nha lho...) Komponen-komponen asap rokok ini merangsang
perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia
ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi
sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan
jaringan sehingga ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Kemudian, timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat
mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga
merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan
secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di
dalam paru dan saluran udara kolaps.4 hal ini menjadi salah satu
anamnesa penyakit yang terjadi pada klien Tn. K yang memiliki riwayat merokok.
PEMERIKSAAN SPUTUM
Chronic Obstructive Pulmonum Desease (COPD) atau
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversibel. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan
kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat
status merokok.
Kolonisasi bakteri
merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas.
Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran
napas Hill dkk menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan
mempengaruhi aktivitas mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutral)
yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat. Mengingat pentingnya
kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK
eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan
mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman
daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya
penatalaksanaan PPOK akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab
eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan. Hal ini yang mendasari tindakan
pemeriksaan bakteriologi pada Tn. K untuk menentukan terapi yang sesuai dengan
sensitivitas kuman pada klien.
Sputum masih sering
digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena
relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa
ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman
orofaring. Bartlett dkk. mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum
hanya 15- 30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum
biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut
saluran napas bawah, temyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang
sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih
tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum.
Terdapat berbagai
metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring
misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan
aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi
namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi. Berbagai
usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik
pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi
kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk
melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan
dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk.
melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur
aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil
kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya
pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari
sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring.
Pemeriksaan sputum
diperlukan pada Tn. K untuk memastikan diagnosa PPOK pada Tn. K. Membran mukosa
saluran pernapasan berespons terhadap inflamasi dengan meningkatkan keluaran
sekresi yang sering mengandung organisme penyebab. Hal yang harus diperhatikan
adalah untuk memperhatikan dan mencatat volume, konsistensi, warna dan bau
sputum. Pemeriksaan sputum yang dilakukan mencakup pemeriksaan :
1. Pewarnaan
Gram, pemeriksaan ini memberikan cukup informasi tentang organisme yang cukup
untuk menegakkan diagnose presumtif. Dalam kasus Tn. K hasil pemeriksaan
pewarnaan gram tertanggal 31 Juli 2012 menunjukkan hasil positif pada kuman
bentuk batang gram negatif dan Diplococcus.
2. Kultur
Sputum mengidentifikasi organisme spesifik untuk menegakkan diagnose definitif.
Untuk keperluan pemeriksaan ini, sputum harus dikumpulkan sebelum dilakukan
terapi antibiotic dan setelahnya untuk menentukan kemanjuran terapi.
3. Basil
Tahan Asam (BTA) menentukan adanya mikobacterium tuberculosis, yang setelah
dilakukan pewarnaan bakteri ini tidak mengalami perubahan warna oleh alcohol
asam.
Sebaiknya
klien diinformasikan tentang pemeriksaan ini sehingga akan dapat dikumpulkan
sputum yang benar-benar sesuai untuk pemeriksaan ini. Instruksikan pasien untuk
mengumpulkan hanya sputum yang berasal dari dalam paru-paru. (Karena sering
kali jika klien tidak di jelaskan demikian, klien akan mengumpulkan saliva dan
bukan sputum). Biasanya dibutuhkan sekitar 4 ml sputum untuk suatu pemeriksaan
laboraturium. Implikasi keperawatan untuk pengumpulan sputum termasuk :
a.
Klien yang kesulitan dalam pembentukan sputum atau
mereka yang sangat banyak membentuk sputum dapat mengalami dehidrasi, perbanyak
asupan cairan klien.
b.
Kumpulkan sputum sebelum makan dan hindari
kemungkinan muntah karena batuk.
c.
Instruksikan klien untuk berkumur dengan air
sebelum mengumpulkan specimen untuk mengurangi kontaminasi sputum.
d.
Instruksikan klien untuk mengingatkan dokter segera
setelah specimen terkumpul sehingga specimen dapat dikirim ke laboraturium
secepatnya
Pada
dasarnya, pada penderita PPOK akan timbul
1.
Hipoksia dan
asidosis.
Hipoksia akan
mengakibatkan timbulnya polisitemia, hipervolemia dan meningkatnya cadiac
output secara bersama-sama sehingga menyebabkan hipertensi pulmonalis.
Hipertensi pulmonalis dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan
jantung secara berulang-ulang. Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya
polisitemia, hipervolemia dan meningkatnya cardiac output. Akhirnya akan timbul
kegagalan jantung kanan. Dari patofisiologi ini dapat dimengerti, bahwa yang
memegang peranan panting yang mengakibatkan timbulnya kor pulmonale pada PPOK
ialah faktor frsiologik yaitu hipoksia dan asidosis.
Pada kasus Tn.
S, ditemukan bahwa hasil pemeriksaan EKG saat klien datang adalah gambaran
Supraventrikel Takikardi yang ditandai dengan frekuensi
jantung yang cepat ( 150-280/menit) dan teratur, yang berasal dari suatu
rangkaian 3 atau lebih kontraksi prematur fokus supraventrikular. SVT mungkin
ditemukan pada jantung yang secara anatomi
normal atau dapat disertai dengan saluran pintas pada salah satu sindrom
pre-eksitasi.
2.
Berkurangnya
kapasitas "vasculer--bed" paru, yang bisa disebabkan karena kelainan
anatomis dari vaskuler paru.
Faktor kelainan
anatomis dari vasculer--bed paru tidak begitu panting peranannya. Apabila
faktor fisiologik ini dapat diperbaiki dengan jalan mengatasi hipoksianya maka
penderita kor pulmonale dapat disembuhkan. Dengan kata lain kelainan bilik
kanan jantung pada penderita kor pulmonale yang disebabkan oleh karena PPOK
adalah bersifat reversibel.
B.
PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa 1
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
perubahan permeabilitas membran kapiler alveolar
Gangguan pertukaran gas adalah
masalah yang sering muncul terjadi pada klien dengan masalah PPOK. Penegakan etiologi perlu dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan penunjang
laboratorium kimia darah untuk menentukan nilai elektrolit dan Analisa Gas
Darah untuk mengetahui adanya gangguan metabolik bahkan adanya gangguan
pernapasan.
Oleh karena itu, diperlukan
beberapa pemeriksaan untuk menegakkan diagnose ini. Salah satu pemeriksaan yang
perlu dilakukan adalah analisa gas darah. Pada Tn. K, tampak pemanjangan nilai
AADO2 yang memperkuat analisa terjadinya gangguan diskusi gas pada membrane
alveolar. Status respirasi berupa RR 35 x/menit, frekuensi cepat dan dangkal,
serta tampak pemanjangan fase ekspirasi.
Diagnosa 2
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut
Pola nafas yang tidak efektif
tampak pada pengkajian status respirasi klien.
C.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnose 1
Tujuan dari memperbaiki pertukaran gas yaitu untuk mengurangi brokospasme akibat adanya peningkatan pembentukan mukus karena
dapat memgakibatkan penurunan aliran udara dan yang
diperburuk oleh kehilangan daya elastisitas paru klien yang memiliki riwayat PPOK sebelumnya.
Intervensi yang dilakukan
berdasarkan rekomendasi dari Nursing Intervention Classification yaitu sebagai
berikut.
Positioning (0840)
Klien diposisikan semi fowler sehingga
mengurangi sesak napas yang dirasakan. Selain itu, sebagai program rehabilitasi
diperlukan latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan,
rehabilitasi psikososial.
Oxygen Therapy (3320)
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus
dipantau secara ketat karena terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan
adaptasi kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan normal berespons
terhadap karbon dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah
rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus merangsang
kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang peka. Kemoreseptor
perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila PO2 lebih dari 50
mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK
biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi
terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi koalitas hidup.
Ventimask adalah cara paling efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.
Pasien COPD akan mengalami hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan. Tanda klinik yang dikaitkan dengan
hiperkapnia adalah sakit kepala (vasodilatasi serebral), asteriksis atau tremor
kasar pada tangan yang teregang (flaping tremor), dan volume denyut nadi yang penuh
disertai tangan dan kaki yang terasa panas dan berkeringat (akibat vasodilatasi
perifer karena hiperkapnia). Hiperkapnia kronik akibat penyakit paru kronik
dapat mengakibatkan pasien sangat toleran terhadap PaCO2 yang
tinggi, sehingga pernapasan terutama dikendalikan oleh hipoksia. Dalam keadaan
ini, bila diberikan oksigen, pernapasan akan dihambat sehingga hiperkapnia
bertambah berat.
Respiratory Monitoring
(3350)
Vital Signs Monitoring (6680)
Medication management (2380)
1)
Bronkodilator
a.
Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi
b.
Secara inhalasi (MDI), klien mendapatkan terapi
inhalasi /4 jam Atroven: Bisolvon: Berotec: NaCl =1:1:1:2
c.
Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila
diperlukan (gejala intermitten)
d. 3
golongan :
1. Agonis
-2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol
2. Antikolinergik:
ipratropium bromid, oksitroprium bromid
3. Metilxantin:
teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2 dan steroid belum memuaskan
2)
Steroid
a. PPOK
yang menunjukkan respon pada uji steroid
b. PPOK
dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat III dan IV)
c.
Eksaserbasi akut
3)
Obat-obat tambahan lain
a. Mukolitik
(mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol, karbosistein, gliserol iodida
b. Antioksidan
: N-Asetil-sistein
c.
Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator):
tidak rutin
d. Antitusif
: tidak rutin
e.
Vaksinasi : influenza, pneumokokus
D. EVALUASI KEPERAWATAN
Secara garis besar penatalaksanaan
bertujuan mengatasi dan menghilangkan obstruksi, mempertahankan bronkodilatasi
dan mencegah atau mengurangi perburukan penyakit. Ketika klien di rawat
diruangan, hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian terapi
oksigen, dan pantau tanda-tanda vital serta hemodinamik. Tak kalah pentingnya
adalah tahap rehabilitasi. Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak dan
mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang optimal. Berbagai cara
fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan napas, perkusi
dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi psikis
berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan
akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi
penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara
umum rehabilitasi ini bertujuan agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan
melakukan aktivitas yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan penderita.13
Berdasarkan tujuan dan criteria hasil
yang dibuat pada nursing care plan, dua
masalah keperawatan utama, evaluasi didapatkan bahwa kedua masalah teratasi
sehingga di hari ke-3 perawatan (hari ke-5 rawat inap), klien sudah boleh
pulang.
Diagnose 1
Penurunan nilai RR menjadi mendekati
batas normal (28 x/menit ),
pengurangan rasa sesak pada klien, TD: 100/70 mmHg, nadi: 90x/menit, reguler pulsasi kuat.
Selanjutnya, diperlukan discharge
planning, berupa pendkesh meminum obat di rumahdan pola hidup bersih dan sehat.
Diagnose 2
Pola nafas dinilai sudah efektif dilihat
dari status respirasi, status kardiopulmonari yang salah satunya tergambar pada
pemeriksaan EKG sehingga klien diberi discharge planning untuk selanjutnya
perawatan oleh keluarga di rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Left message here...