Setelah kemarin malam lusa mata
sulit terpejam karena menanti kabar dari Pencerah Nusantara (karena menyangkut masa depan saya baik karir maupun keputusan kapan mengakhiri masa lajang....hehehe), malam ini mata
kembali sulit terpejam padahal mata sudah terasa panas sejak masih di tempat
kerja tadi. Usai mendengar kabar seorang pasien yang meninggal kemarin malam,
rasanya ingin sedikit bercerita malam...
Ny. S, masuk dengan intake kurang,
terdapat oedem (bengkak di tungkai kiri) terdiagnosa thrombus vena femoralis
usai dilakukan pemeriksaan USG Doppler tungkai.
Ya, almarhumah memang bukan
siapa-siapa saya, hanya, saya masih tidak habis pikir atas kondisinya saat
terminasi sakitnya.
Hari pertama dirawat, dengan keadaan
umum sedang, kesadaran composmentis. Kadang seperti berhalusinasi juga si…
sempat melihat ibu-ibu di bed sebelah yang sebenarnya kosong, menganggap tangan
sendiri dibilang tangan anaknya, dan esoknya kehilangan kakinya. Makan… baik, bahkan
sangat banyak, nenek, begitu saya memanggilnya, pernah saya ceritakan cara makannya
tampak seperti 1 minggu tak makan. Sekali waktu almrhumah menyimpan separuh kue
snack pagi dari RS, “Buat ntar malam”, demikian ujarnya. Juga ketika saya
menemukan satu bungkus kue jatah RS
tersembunyi di bawah sprei, “Takut dimakan kucing”, katanya, membuat banyak
persangkaan dalam hati atas bagaimana kehidupannya, terutama makannya selama di
rumah. Pernah bergumam juga kenapa anaknya tak ada yang disini, ingin ketemu
anaknya.
Hari pertama, menantu almarhumah
meminta ijin katanya tidak ada yang bisa menunggui nenek selama di RS, karena
baik dia, maupun istrinya-anak kandung si nenek- bekerja bahkan sudah mendapat
SP karena beberapa kali tidak disiplin kerja usai mengurus ibunya-nenek
tersebut. Panjang lebar ceritanya dari pekerjaan yang baru didapat sampai SP
yang diperoleh padahal baru 2 minggu bekerja (curhat ya? batin saya saat itu yang kebetulan kondisi emosi dalam
masa “PMS” –cuman cewek yang faham ;-) )Saya menjawab sebagaimana hubungan professional.
Hanya, setelah beberapa hari perawatan keluarga sama sekali tak tampak usaha
untuk turut memberi dukungan emosional, salah satu rekan sejawat memperingatkan
si anak bahwa sentuhan si anak demikian berarti untuk pasien, di samping
keterbatasan perawat untuk mengurus semua kebutuhan nenek. jadi ingat, sekali
waktu nenek berucap “dok (awalnya
memanggil kami para perawat dengan sebutan “dok”), disini aja si, bair kalo
saya butuh apa-apa gampang”. Weijjaann….
pasien laen mau diapakan nek,
demikian batin saya. Ya, cukup bisa dimaklumi mengapa nenek memintanya. “Suapin
dok..” Bahkan faktor usia juga mungkin yang menginginkan sekali waktu nenek
berujar demikian…
“Kasian”, itu kesan saya setelah
beberapa hari perawatan terhadapnya. Pun
ketika sekali waktu saya melihat anaknya merawat, meski hanya malam itu, sekedar
mengganti pampers dengan omelan dari A hingga Z. sampai hari itu saya melihat
nenek masih dalam kesadaran tanpa “keanehan”. Hingga esok hari setelah saya out of charge (kalo ga salah
usai turun malam), nenek sulit dikaji. “Ga mau makan dari kemarin sore” crita
pasien sebelah. Nenek diam seribu bahasa! Saya rangsang nyeri, kadang respon,
tapi kadang tidak. Kadang meresponnya dengan menjauh, kadang membuka mata,
verba.. kadang ia merintih, tapi lebih banyak diam.
Ingin menyimpulkan apatis bahkan
somnolen, tapi ada cerita nenek sebenarnya cuma ngambek usai diomelin anak,
menantu, plus pasien sebelah. Pun saat saya pasang NGT untuk kebutuha intakenya , ia membuka mata spontan,
dengan jelas melihat, bisa diperintah untuk menelan selang, dan kooperatif.
Saat ibu angkatnya (kata menantunya), datang menjenguk pun, nenek mau duduk,
meski tak mau berucap apapun, hanya diam, padahal sebelumnya ia teriak hingga
membuat tensi pasien sebelah naik. Di sisi lain, thrombus pada bna femoralis juga tidak bisa disepelekan.
Sempat saya menilai GCS nenek E4, M4
V1, tapi ragu bahwa itu respon psikis. Tekanan psikis atas kekurangperhatian
dari anak-anak, bahkan ketika diskusi dengan dokter penanggungjawab pasien pun,
idem. Sempat satu dua kali saya coba berbicara dengannya dengan serius,
menanyakan dari “hati”, nenek tetap diam seribu bahasa. Padahal sebelumnya,
sering saya menggoda almarhumah selalu ditanggapi- kadang ngeselin juga si..
maklum nini nini.. ^_^
Kondisinya ambigu antara penurunan kesadaran
dan efek psikiatri. Sampai hari itu, saya baru tahu, ternyata si nenek memiliki
3 anak, 2 anak di kampong di Jawa, sedang 1 anaknya yang sesekali ke RS
menjenguknya. Saudara, sudah tidak ada yang peduli, pun ketika dihubungi, tidak
ada respon, demikian cerita menantunya.
Hingga akhirnya nenek dipindah ke
HCU yang rencana awal akan dipindah ke ruang isolasi, dan terakhir sore ini
saya mendengar kabar meninggalnya, jenazah menetap di RST sampai esok hari baru
dibawa keluarga, terasa begitu “tidak berharga” nya kah nenek sebagai seorang ibu??
Sesibuk-sibuknya anak bekerja, benarkah untuk “sekedar” membawa pulang jenazah
tak ada waktu..??!
Wallahu a’lam. tak mau banyak
bersuudzon, hanya bisa mendoakan untuk kebaikannya. Semoga, saya dan pembaca
sekalian, senantiasa berbuat baik pada orang tua. Merawat di masa tua, meski
telah memiliki keluarga sendiri, Orang tua adalah alasa pertama kita ada di
dunia….
Dari sisi keilmuan, adalah tantangan
baru bagi para tenaga medis dan para medis untuk bisa menilai dengan tepat
tingkat kesadaran pasien, juga menilai pasien secara holistic termasuk psikis
nya.
Semoga bermanfaat
#Love You Mom…