Selasa, 28 Agustus 2012

Paru-paru:si kembar


Apa kabar rekan?
Semoga senatiasa dalam keadaan sehat dan dalam semangat untukterus menebar manfaat.
Sebelum ini saya posting tentang si kecil jantung, kali ini saya aka bercerita tentang apsien saya yang bermasalah pada si kembar teman jantung juga.. paru-paru. Semoga posting kali ini bisa bermanfaat untuk rekans yang ingin menambah hasanah ilmu kesehatan, maupun rekans yang ingin nambah bacaan buat ngelola pasien dengan masalah yang sama. Satu hal yang pasti, kita semua memiliki faktor resiko terpapar dengan sumber-sumber permasalaha timbulnya risiko penyakit ini. (Saya juga tidak terlepas dari risiko ini karena kebiasaan saya terpapar asap rokok, asap kendaraan saat perjalanan ama si Browny di jalan.. Ooooww…)
Hmm… semoga kita sehat hingga akhir hayat ya…

Salam sehat!!!

Beliau seorang lelaki berusia 62 tahun yang menderita COPD atau Chronic Obstructive Pulmonal Disease alias Penyakit paru obstruksi akut (PPOK). Pasien yang sudah dirawat 2 hari di RS saat bersua dengan saya ini, katanya datang ke RS dengan keluhan sesak nafas, batuk-batuk, dan sesak tidak kunjung sembuh. Seringkali untuk beraktivitas berat, sesak terasa sangat berat. (so.. hati-hati untuk rekans yang sering merasa sesak nafas ya… bukan karena dompetnya yang sesak lho ya… *_~)
Berikut pembahasan yang saya buat berdasarkan tinjauan penyakit dan kelolaan saya yang berdasarkan konsep asuhan keperawatan dengan melibatkan “Metode Sowan” yang diperkenalkan salah seorang dosen saya yang hebat.
A.    HASIL PENGKAJIAN
1.      Anamnesis
Diagnosa COPD ditegakkan berdasarkan pemeriksaan yang diberikan pada klien. Hasil anamnesis menunjukkan terdapat riwayat paparan dengan faktor resiko (merokok) –Nha lho.. lagi-lagi MEROKOK jadi biang kerok!!!-, riwayat HT, tetapi tidak ada riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktivitas, dll
COPD disebabkan oleh iritasi yang berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan. Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.
Merokok menjadi faktor resiko utama dari COPD yang dialami klien. (Nha lho...) Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan sehingga ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Kemudian, timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps.4 hal ini menjadi salah satu anamnesa penyakit yang terjadi pada klien Tn. K yang memiliki riwayat merokok.

PEMERIKSAAN SPUTUM
Chronic Obstructive Pulmonum Desease (COPD) atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok.
Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas Hill dkk menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktivitas mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutral) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat. Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan. Hal ini yang mendasari tindakan pemeriksaan bakteriologi pada Tn. K untuk menentukan terapi yang sesuai dengan sensitivitas kuman pada klien.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk. mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15- 30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, temyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum.
Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi. Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring.
Pemeriksaan sputum diperlukan pada Tn. K untuk memastikan diagnosa PPOK pada Tn. K. Membran mukosa saluran pernapasan berespons terhadap inflamasi dengan meningkatkan keluaran sekresi yang sering mengandung organisme penyebab. Hal yang harus diperhatikan adalah untuk memperhatikan dan mencatat volume, konsistensi, warna dan bau sputum. Pemeriksaan sputum yang dilakukan mencakup pemeriksaan :
1.     Pewarnaan Gram, pemeriksaan ini memberikan cukup informasi tentang organisme yang cukup untuk menegakkan diagnose presumtif. Dalam kasus Tn. K hasil pemeriksaan pewarnaan gram tertanggal 31 Juli 2012 menunjukkan hasil positif pada kuman bentuk batang gram negatif dan Diplococcus.
2.     Kultur Sputum mengidentifikasi organisme spesifik untuk menegakkan diagnose definitif. Untuk keperluan pemeriksaan ini, sputum harus dikumpulkan sebelum dilakukan terapi antibiotic dan setelahnya untuk menentukan kemanjuran terapi.
3.     Basil Tahan Asam (BTA) menentukan adanya mikobacterium tuberculosis, yang setelah dilakukan pewarnaan bakteri ini tidak mengalami perubahan warna oleh alcohol asam.

Sebaiknya klien diinformasikan tentang pemeriksaan ini sehingga akan dapat dikumpulkan sputum yang benar-benar sesuai untuk pemeriksaan ini. Instruksikan pasien untuk mengumpulkan hanya sputum yang berasal dari dalam paru-paru. (Karena sering kali jika klien tidak di jelaskan demikian, klien akan mengumpulkan saliva dan bukan sputum). Biasanya dibutuhkan sekitar 4 ml sputum untuk suatu pemeriksaan laboraturium. Implikasi keperawatan untuk pengumpulan sputum termasuk :
a.       Klien yang kesulitan dalam pembentukan sputum atau mereka yang sangat banyak membentuk sputum dapat mengalami dehidrasi, perbanyak asupan cairan klien.
b.      Kumpulkan sputum sebelum makan dan hindari kemungkinan muntah karena batuk.
c.       Instruksikan klien untuk berkumur dengan air sebelum mengumpulkan specimen untuk mengurangi kontaminasi sputum.
d.      Instruksikan klien untuk mengingatkan dokter segera setelah specimen terkumpul sehingga specimen dapat dikirim ke laboraturium secepatnya
(Faud, 2011)

Pada dasarnya, pada penderita PPOK akan timbul
1.      Hipoksia dan asidosis.
Hipoksia akan mengakibatkan timbulnya polisitemia, hipervolemia dan meningkatnya cadiac output secara bersama-sama sehingga menyebabkan hipertensi pulmonalis. Hipertensi pulmonalis dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung secara berulang-ulang. Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia, hipervolemia dan meningkatnya cardiac output. Akhirnya akan timbul kegagalan jantung kanan. Dari patofisiologi ini dapat dimengerti, bahwa yang memegang peranan panting yang mengakibatkan timbulnya kor pulmonale pada PPOK ialah faktor frsiologik yaitu hipoksia dan asidosis.
Pada kasus Tn. S, ditemukan bahwa hasil pemeriksaan EKG saat klien datang adalah gambaran Supraventrikel Takikardi yang ditandai dengan frekuensi jantung yang cepat ( 150-280/menit) dan teratur, yang berasal dari suatu rangkaian 3 atau lebih kontraksi prematur fokus supraventrikular. SVT mungkin ditemukan pada jantung yang       secara anatomi normal atau dapat disertai dengan saluran pintas pada salah satu sindrom pre-eksitasi.
2.      Berkurangnya kapasitas "vasculer--bed" paru, yang bisa disebabkan karena kelainan anatomis dari vaskuler paru.
Faktor kelainan anatomis dari vasculer--bed paru tidak begitu panting peranannya. Apabila faktor fisiologik ini dapat diperbaiki dengan jalan mengatasi hipoksianya maka penderita kor pulmonale dapat disembuhkan. Dengan kata lain kelainan bilik kanan jantung pada penderita kor pulmonale yang disebabkan oleh karena PPOK adalah bersifat reversibel.

B.     PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa 1
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan permeabilitas membran kapiler alveolar
Gangguan pertukaran gas adalah masalah yang sering muncul terjadi pada klien dengan masalah PPOK.  Penegakan etiologi perlu dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan penunjang laboratorium kimia darah untuk menentukan nilai elektrolit dan Analisa Gas Darah untuk mengetahui adanya gangguan metabolik bahkan adanya gangguan pernapasan.
Oleh karena itu, diperlukan beberapa pemeriksaan untuk menegakkan diagnose ini. Salah satu pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah. Pada Tn. K, tampak pemanjangan nilai AADO2 yang memperkuat analisa terjadinya gangguan diskusi gas pada membrane alveolar. Status respirasi berupa RR 35 x/menit, frekuensi cepat dan dangkal, serta tampak pemanjangan fase ekspirasi.

Diagnosa 2
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut
Pola nafas yang tidak efektif tampak pada pengkajian status respirasi klien.

C.     INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnose 1
Tujuan dari memperbaiki pertukaran gas yaitu untuk mengurangi brokospasme akibat adanya peningkatan pembentukan mukus karena dapat  memgakibatkan penurunan aliran udara dan yang diperburuk oleh kehilangan daya elastisitas paru klien yang memiliki riwayat PPOK sebelumnya.
Intervensi yang dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Nursing Intervention Classification yaitu sebagai berikut.
Positioning (0840)
Klien diposisikan semi fowler sehingga mengurangi sesak napas yang dirasakan. Selain itu, sebagai program rehabilitasi diperlukan latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial.

Oxygen Therapy (3320)
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus dipantau  secara ketat karena terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi koalitas hidup. Ventimask adalah cara paling efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.
Pasien COPD akan mengalami hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. Tanda klinik yang dikaitkan dengan hiperkapnia adalah sakit kepala (vasodilatasi serebral), asteriksis atau tremor kasar pada tangan yang teregang (flaping tremor), dan volume denyut nadi yang penuh disertai tangan dan kaki yang terasa panas dan berkeringat (akibat vasodilatasi perifer karena hiperkapnia). Hiperkapnia kronik akibat penyakit paru kronik dapat mengakibatkan pasien sangat toleran terhadap PaCO2 yang tinggi, sehingga pernapasan terutama dikendalikan oleh hipoksia. Dalam keadaan ini, bila diberikan oksigen, pernapasan akan dihambat sehingga hiperkapnia bertambah berat.
Respiratory Monitoring (3350)
Vital Signs Monitoring (6680)
Medication management (2380)
1)      Bronkodilator
a.       Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi
b.       Secara inhalasi (MDI), klien mendapatkan terapi inhalasi /4 jam Atroven: Bisolvon: Berotec: NaCl =1:1:1:2
c.        Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
d.       3 golongan :
1.       Agonis -2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol
2.       Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid
3.       Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2 dan steroid belum memuaskan
2)      Steroid
a.       PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid
b.       PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat III dan IV)
c.        Eksaserbasi akut
3)      Obat-obat tambahan lain
a.       Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol, karbosistein, gliserol iodida
b.       Antioksidan : N-Asetil-sistein
c.        Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin
d.       Antitusif : tidak rutin
e.        Vaksinasi : influenza, pneumokokus

D.    EVALUASI KEPERAWATAN
Secara garis besar penatalaksanaan bertujuan mengatasi dan menghilangkan obstruksi, mempertahankan bronkodilatasi dan mencegah atau mengurangi perburukan penyakit. Ketika klien di rawat diruangan, hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian terapi oksigen, dan pantau tanda-tanda vital serta hemodinamik. Tak kalah pentingnya adalah tahap rehabilitasi. Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan napas, perkusi dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan penderita.13
Berdasarkan tujuan dan criteria hasil yang dibuat pada nursing care plan, dua masalah keperawatan utama, evaluasi didapatkan bahwa kedua masalah teratasi sehingga di hari ke-3 perawatan (hari ke-5 rawat inap), klien sudah boleh pulang.
Diagnose 1
Penurunan nilai RR menjadi mendekati batas normal (28 x/menit ), pengurangan rasa sesak pada klien, TD: 100/70 mmHg, nadi: 90x/menit, reguler pulsasi kuat.
Selanjutnya, diperlukan discharge planning, berupa pendkesh meminum obat di rumahdan pola hidup bersih dan sehat.
Diagnose 2
Pola nafas dinilai sudah efektif dilihat dari status respirasi, status kardiopulmonari yang salah satunya tergambar pada pemeriksaan EKG sehingga klien diberi discharge planning untuk selanjutnya perawatan oleh keluarga di rumah.


Senin, 27 Agustus 2012

Sayangi para perokok....Giman cara?

hH  

Setelah sekian lama....akhirnya berkesempatan nulis ni..
Terinspirasi oleh pasien-pasien saya di RS Karyadi Semarang, ingin menuliskan sesuatu yang mungkin bisa bermanfaat untuk rekan-rekan.
Kali ini, posting saya akan berkaitan dengan anda-anda para perokok. Oops..
Hmm....
Ngomong-ngomong perokok.. bapak saya juga perokok, yag sampai saat ini belum bisa dihentikan.. Gimana ya, selalu aja ada alasan untuk tetap merokok.
H"berarti kalo ga ngrokok bisa jadi ampe ratusan ribu umurnya Pak.." (hehe.. ga manjur ni jawaban)Bahkan sampe 1 bungkus rokok saya basahi (dengan alasan ponakan saya yang 1 tahun menumpahkan air di situ.. ga ngaruh.. masih bisa beli yang baru! Waahh... T_T)
ya.. untuk rekan-rekan yang juga tengah berjuang menghentikan para perokok, jangan menyerah!! hehe.. (kaya lagi jihad aja ya...) Penting lho, kalo memang sayang sama si perokok.. harus pantang menyerah, disamping pengobatan yang mahal, komplikasi akibat rokok ini sangat membuat kita ingin berkata.. "kasian.."
Oke, to the point..
Berikut adalah pembahasan dari kelolaan saya terhadap Tn. K dengan Acute Coronary Syndrome (ACS) atau Sindrom Koronari Akut (SKA)
Sejak 4 jam  sebelum masuk RS (SMRS), klien merasakan nyeri dada yang mulai dirasakan saat hendak tidur. Nyeri dada pada semua lapang dada kiri, menjalar sampai lengan kiri, leher, kadang terasa di seluruh lapang dada sampai menjalar ke ulu hati. Klien mengatakan nyeri seperti diremas-remas, kadang seperti ditusuk-tusuk, ada rasa seperti terbakar. Nyeri dada seperti ini sering hilang timbul sejak 2 bulan SMRS dan sedikit mereda bila beristirahat. Nyeri saat ini dirasa memberat sejak 4 jam SMRS. Klien sempat dibawa ke RS Kendal, kemudian diberi obat di bawah lidah. Nyeri sedikit berkurang, dari RS Kendal klien dirujuk ke RSDK. Klien merasa sesak nafas. Terdapat keringat dingin. Terdapat mual. Dada dirasakan berdebar-debar. Klien tidak pingsan saat dibawa ke RS. (Nah lho, ati-ati kalo kamu pernah ngrasain sakit dada yang sama ya..) 
Riwayat Penyakit Dahulu  
Sejak 2 tahun SMRS, klien dikatakan mempunyai hipertensi dan tidak teratur minum obat. Klien juga memiliki riwayat kencing manis sejak 2005. Klien kontrol ke RS Kendal. Klien pernah dirawat di RS Kendal 1 tahun yang lalu karena hipertensi dan kencing manis.Klien adalah seorang perokok sejak umur 18 tahun. Satu bungkus rokok habis dalam 2-3 hari. Akan tetapi klien sudah berhenti merokok sejak tahun 2001. 
Klien tidak sesak bila berbaring, dapat tidur dengan 1 bantal. Klien tidak pernah terbangun pada malam hari karena sesak. Klien semakin membatasi aktivitas fisik karena bila banyak bergerak klien merasa sesak dan sakit dada yang hilang jika beristirahat. Nyeri dada juga muncul jika banyak pikiran. Klien juga merasa keluhan muncul bila berjalan jauh. 
Klien belum pernah operasi jantung sebelumnya. Makanan belum dijaga.

PEMBAHASAN

A.    Studi Kasus Tn. K
Infark Miokard Akut (IMA) sangat berpotensi menjadi fatal karena adanya silent infark dan cardiac arrest yang terjadi diluar rumah sakit. Namun, potensi ini dapat dicegah jika pengetahuan masyarakat akan keluhan Chest Pain dan diagnosa lebih dini dapat ditegakkan.
Infark Miokard Akut adalah nekrosis dari miokard yang terjadi akibat insufisiensi aliran darah lewat koroner yang mendadak sehingga aliran darah koroner tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen. Infark Miokard Akut memberikan gambaran klinis yang khas berupa nyeri dada, kelainan EKG yang khas dan kenaikan serum enzim. Hal ini sebagaimana terjadi pada Tn. K yang mengalami chest pain khas dan kelainan EKG. Pada pemeriksaan EKG diperoleh adanya infark inferoposterior. SR, QRS rate,75x/mnt, normoaksis, ST ↑ di II,III,avf,V7-9, St ↓ di I,avl,V1-3,V5-6, VES +, LVH -, RVH +
Pengobatan Pra Hospital dapat berupa pemasangan infus, pemberian oksigen, monitoring EKG, opioid, trombolitik dan penderita segera diangkut ke hospital. Selanjutnya dilakukan tindakan-tindakan untuk mengkonfirmasikan diagnosa dengan pemeriksaan EKG, serum enzim, bila mungkin dengan Radio Nuclide Imaging, prosedur non invasif dan invasif seperti Swan Ganz Kateter dan Balloon Flotation Kateter, dan mengobati komplikasi-komplikasi berupa : gagal jantung, aritmia, syok, tromboemboli.
Prioritas utama dalam penanganan klien dengan acute coronary syndrome (ACS) adalah mencegah kematian. Perawatan ditujukan untuk meminimalkan keluhan dan stres serta untuk membatasi perluasan kerusakan miokard. Perawatan tersebut dapat dibagi menjadi 3 fase (Hopper, 1989) :
(1)          Penanganan darurat dengan pertimbangan utama untuk menghilangkan nyeri dan mencegah atau menangani henti jantung.
Pengobatan trombolitik
Sebuah penelitian oleh Stevenson R. Ranjadayalan K. Wilkinson P. Robets R. Timmis AD. tentang “Short and long-term prognosis of acute myocardial infarction since the introduction of trombolysis” menunjukkan pada pasien yang mempunyai onset gejala infark dalam 12 jam, terbukti bahwa keuntungan terapi dengan trombolitik sangat menakjubkan. Pada pasien yang menunjukkan gejala dalam 6 jam, dan elevasi ST atau bundle branch block, sekitar 30 kematian dapat dicegah tiap 1000 orang yang diobati. Pada pasien yang menunjukkan gejala antara 7-12 jam, 20 kematian dapat dicegah tiap 1000 orang yang mendapat pengobatan. Bila lebih dari 12 jam tidak ada bukti yang meyakinkan tentang keuntungannya.
Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menunjukkan keuntungan pemberian aspirin, sehingga ada penurunan kira-kira sebesar 50 kematian tiap 1000 orang diterapi. Secara keseluruhan, keuntungan terbesar terlihat pada pasien dengan resiko tinggi, walau proporsional keuntungannya hampir sama. Maka, lebih banyak nyawa terselamatkan tiap 1000 nyawa yang diobati Thrombolitik, sebagai contoh diantaranya mereka yang berusia 65 tahun keatas, yang mempunyai tekanan sistolik <160mmHg, yang mempunyai infark anterior atau yang mempunyai bukti iskemia yang lebih berat (Adams, 1993).
Dalam hal ini, penanganan awal pada klien Tn. K sesuai dengan tinjauan tersebut karena klien diberikan aspilet 80 mg.
Dalam pengkajian klien dengan masalah pada sstem kardiovaskuler, penting untuk mengetahui faktor risiko yang ada pada Tn. K. Faktor risiko yang dimiliki oleh Tn. K yaitu merokok, riwayat diabetes, tekanan darah tinggi, berusia tua, kurang berolahraga, obesitas.
Melihat riwayat diabetes yang dimiliki Tn. K, kita perlu mengingat sebuah penelitian oleh Zainal Safri, Dep/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2009, dengan hasil outcomes klinis kelompok pasien diabetes dengan IMA paska trombolitik lebih jelek dibandingkan kelompok non-diabetes.. tingginya angka kematian terutama disebabkan gagal jantung memberikan masukan bahwa dibutuhkan peningkatan usaha dan terapi yang lebih baik serta lebih agresif pada pasien diabetes dengan STEMI, pendekatan terapi seperti segera memberikan tromoblitik, memperbaiki kekacauan metabolik dan pertimbangan untuk segera dilakukan primery PCI pada kelompok high risk mungkin akan memperbaiki outcomes klinis dengan meningkatkan angka harapan hidup dan pasien diabetes dengan STEMI.
(2)          Penanganan dini dengan pertimbangan utama untuk reperfusi dan mencegah perluasan infark, serta untuk menangani komplikasi akut seperti kegagalan pompa jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.
Sampai saat ini, banyak penelitian randomisasi terkontrol menunjukkan bahwa PCI primer lebih unggul dibandingkan trombolisis intravena untuk pengobatan STEMI. ini disebabkan oleh PCI primer sangat efektif mengembalikan patensi pembuluh darah koroner mengurangi iskemik miokard berulang, pengurangan reoklusi koroner, pengurangan kejadian infark miokard berulang, memperbaiki fungsi ventrikel kiri, dan pengurangann kejadian stroke.
Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA)
Peranan PTCA pada jam-jam awal dari infark miokard dibagi menjadi angioplasti primer, angioplasti yang dikombinasi dengan trombolisis dan angioplasti penyelamatan (Gibbons, 1993).
Angioplasti primer
Dalam hal ini, klien mendapatkan advise untuk diberikan tindakan Angioplasti primer. Dalam hal ini, digolongkan sebagai PTCA tanpa diikuti pengobatan trombolitik dan merupakan terapi pilihan hanya bila akses cepat (<1 jam) ke laboratorium kateterisasi yang memungkinkan. Hal ini membutuhkan tim khusus, yang melibatkan tidak hanya ahli kardiologi, tetapi juga staf yang terlatih dengan baik.
Angioplasti primer efektif dalam menjaga patensi arteri koroner dan menghindari resiko terjadinya perdarahan otak karena obat trombolitik. Bila dibandingkan dengan terapi trombolitik ada keuntungan antara lain perbaikan patensi yang lebih baik, fungsi ventrikel yang lebih baik, dan kecenderungan untuk hasil klinis yang lebih baik pula. Pasien dengan kontraindikasi terhadap trombolitik mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada yang diterapi
Angioplasti yang dikombinasi dengan trombolitik
PTCA yang dilakukan setelah pemberian trombolitik yang dimaksudkan untuk meningkatkan reperfusi atau menurunkan resiko reoklusi telah menunjukkan bukti rendah keberhasilannya dan membuktikan kecenderungan meningkatkan komplikasi dan kematian. Oleh karena itu tidak dianjurkan.
Rescue angioplasti (Angioplasti Penyelamatan)
Merupakan PTCA yang dilakukan pada arteri koroner yang tetap mengalami oklusi setelah pemberian trombolitik. Pengalaman terbatas yang didapat dari dua penelitian acak menunjukkan kecenderungan adanya hasil yang lebih baik jika pembuluh darah yang mengalami sumbatan di rekanalisasi saat angioplasti. Walaupun angka keberhasilan angioplasti cukup tinggi, masalah yang belum terpecahkan adalah kurang bisa diterimanya metode invasif untuk menimbulkan patensi pembuluh darah.
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) pada klien Tn. K dengan STEMI
STEMI didefinisikan sebagai pasien-pasien dengan nyeri dada yang khas (nyeri infark) dimana hasil ECG dijumpai peningkatan segmen ST yang menetap atau adanya LBBB yang baru. PCI untuk STEMI membutuhkan tim yang berpengalman yang terdiri dari kardiologis intervensi dengan bantuan staf yang terampil. Strategi reperfusi dengan PCI telah menjadi modalitas pengobatan yang sangat penting dari STEMI dan banyak mengalami kemajuan pada tahun-tahun terakhir ini. Sedangkan terapi trombolitik dimana dapat digunakan secara luas, mudah diberikan dan tidak mahal tetapi merupakan pilihan alternative. PCI primer telah terbukti lebih superior dibandingkan terapi trombolitik dalam pencapaian TIMI 3 flow (perfusi komplit), iskemik berulang sedikit, mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden stroke perdarahan yang lebih rendah.(19)
Panduan dari Perhimpunan Kardiologi Eropa (ESC) tahun 2005 dan American College of Cardiology (ACC) menyatakan bahwa tindakan PCI sama efektifnyna dengan terapi trombolitik bila pasien dating di bawah 3 jam setelah serangan pertama, akan tetapi bila pasien datang lebih dari 3 jam maka manfaat tromboliss lebih kecil bila dibandingkan PCI.
(3)          Penanganan lanjut yang ditujukan untuk menangani komplikasi yang terjadi di CCU (coronary care unit), dan post CCU.

B.     Masalah dan Intervensi Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. K, diperoleh 2 masalah keperawatan prioritas.
1.      Nyeri berhubungan dengan penurunan suplay oksigen ke miokard sekunder terhadap IMA
Angina adalah tipe nyeri pada dada yang disebabkan berkurangnya darah yang mengalir ke otot jantung. Angina adalah gejala dari coronary artery disease (CAD) atau penyakit arteri koroner. Pada penyakit ini, otot jantung tidak mendapat cukup darah yang kaya akan oksigen. Angina digambarkan dengan rasa seperti diperas, ditekan, berat, ketat atau nyeri pada dada.
Nyeri pada Tn. K yang dirasakan bahkan ketika sedang istirahat menunjukkan gejala unstable angina yang dapat menjadi sinyal adanya serangan jantung.

Berdasarkan Nursing Intervention Classification, intervensi yang perlu diberikan pada klien adalah sebagai berikut
1)      Analgesic administration
Dalam hal ini, klien mendapatkan terapi aspilet 80 mg. sedangkan untuk etiologi penyebab nyeri ini, klien mendapatkan plavix 75  mg untuk mengurangi terjadinya aterosklerosis (infark miokardial dan kematian vaskuler). Herbesser CD dan Farsorbid juga diberikan untuk indikasi angina pectoris yang dialami klien.
2)      Anxiety reduction
Dalam serangan angina pectoris, sangat besar kemungkinan perasaan takut pada pasien, termasuk pada klien Tn. K yang cukup merasa takut dengan sakit yang dialaminya. Maka, intervens untuk penanganan kecemasan sangat diperlukan. Dalm hal ini, penjelasan tentang penyakit klien dan intervensi yang akan diberikan cukup menjadi intervensi dalam mengurangi kecemsan klien.
3)      Environmental management: comfort
Pengkondisian tempat istirahat klien perlu dilakukan untuk mencegah ketidaknyamanan klien yang dapat memperburuk penyakit klien.
4)      Pain management
Manajemen nyeri menjadi intervensi rutin pada masalah nyeri pada klien. Istirahat akan memberikan ketenangan sebagai salah satu relaksasi klien sehingga rasa nyeri yang dirasakan berkurang, selain itu dengan beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)
5)      Vital signs monitoring.
Tanda-tanda vital merupakan pemeriksaan fisik yang sangat penting dilakukan karena adanya perubahan tanda-tanda vital menunjukkan kelainan sirkulasi dalam sistem sistemik tubuh. Dengan asumsi penurunan kontraktilitas otot-otot jantung, maka denyut nadi akan menurun dan juga tekanan darah naik lama kelamaan akan menurun karena penurunan cardiak output. Oleh karena itu pengkajian terhadap tanda-tanda vital sangat perlu dilakukan sebagai indikasi awal adanya kelainan sistemik tubuh.
2.      Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard
Berdasarkan Nursing Intervention Classification, intervensi yang perlu diberikan pada klien adalah sebagai berikut
1)      Cardiac care: acute
Chest pain yang mengindikasikan adanya ganggua pada fungsi jantung memerlukan intervensi cardiac care sehingga mempertahankan status kesehatan klien dan memperbaiki fungsi jantung. Dalam hal ini, perlu dilakukan monitoring ECG dan juga terapi medikasi yang diberikan. Pemeberian antitrombotik, angiotensin II antagonis, antihipertensi-kalsium antagonis, antiangina pada klien memerlukan penjelasan fungsi dan efek obat tersebut pada klien.
2)      Airway management
Gangguan pada cardiac output akan berkaitan dengan stroke volume dan heart rate yang berarti berkaitan pula dengan pernafasan klien karena transfer oksigen sangat dipengaruhi oleh tiga hal tersebut. Maka, untuk permasalahan risiko penurunan curah jantung diperlukan intervensi untuk memonitor dan maintain status respiratori klien.
3)      Fluid/electrolyte management, Fluid monitoring
Pada gangguan fungsi jantung akan terjadi kemungkinan terhadap kelebihan volume cairan ekstravaskuler karena peningkatan natrium/retensi air atau penurunan protein plasma. Oleh karena itu, diperlukan intervensi monitoring status cairan agar dapat mempertahankan keseimbangan cairan yang dapat dibuktikan  pada tekanan darah, tidak ada distensi vena perifer dan edema dependen.
4)      Hemodynamic regulation
Disamping pemantauan TTV, perlu juga haru dikaji sistem hemodinamik tubuh, karena adanya perubahan curah jantung, maka sirkulasi juga akan berkurang, demikian juga cairan dan keseimbangan cairan akan berpengaruh terhadap tekanan hemodinamik tubuh.
Monitoring dan pengaturan hemodinamik perlu dilakukan karena berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung mengubah hemodinamika. Perubahan hemodinamika bervariasi sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia, dan derajat respon reflex kompensasi system saraf otononom. Menurunnya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung dengan berkurangnya curah sekuncup. Berkurangnya pengosongan ventrikel saat systole akan memperbesar volume ventrikel. Akibatnya, tekanan jantung kiri akan meningkat, tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan tekanan dalam kapiler paru-paru akan meningkat. Peningkatan tekanan diperbesar oleh perubahan daya kembang dinding jantung akibat iskemia. Dinding yang kurang lentur semakin memperberat peningkatan tekanan pada volume ventrikel tertentu.
Diakibatkan karena disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan hemodinamik progresif hebat yang irreversible, dengan manifestasi meliputi hal-hal berikut yaitu:
1)      Penurunan perfusi perifer
2)      Penurunan perfusi koroner
3)      Peningkatan kongesti paru
4)      Hipotensi, asidosis metaboik, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.

C.    Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang dilakukan pada klien menunjukkan kedua masalah keperawatan dapat teraatasi. Nyeri tidak lagi dirasakan oleh klien. Namun demikian, perlu perhatian pada etiologi nyeri ini. Oleh karena itu, perawat perlu memberikan reinforcemenet positif pada klien yang akan direncanakan untuk tindakan PCI.
Pada masalah risiko penurunan curah jantung, masih diperlukan intervensi lanjut meskipun selama asuhan keperawatan tidak terdapat tanda-tanda penurunan curah jantung. 


Oke rekans, ini saja yang ingin saya bagi. Untuk rekans sejawat, semoga bermanfaat untuk perawatan klien (pasien) dengan masalah yang sama. Untuk rekans pembaca, semoga menjadi tambahan wawasan biar sadar dan mau sadar untuk pola hidup sehat...

Salam sehat!!