2 bulan 8 hari, terhitung dari tanggal
21 April 2013, saya menginjakkan kaki di kota hujan ini, mencoba mengabdi untuk
pasien-pasien Di RS. Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa, Bogor. Awalnya, saya
menikmati pekerjaan ini. Mengaplikasikan ilmu mulai dari pemenuhan kebutuhan
dasar manusia, hingga pentingnya “sekedar” monitoring balance cairan untuk
memastikan pasien tidak mengalami perburukan penyakit. Saya menikmati satu demi
satu ilmu yang akhirnya dapat saya aplikasikan untuk pasien dengan berbagai
kondisi disini, dari penyakit “sekedar” gangguan termoregulasi (suhu-red),
hingga pasien-pasien yang dalam fase terminasi (parah-red). Seiring berjalannya
waktu, saya (dituntut) untuk belajar menyadari, bahwa ilmu memang tak cukup
hanya textbook. Hafal saja tidak
cukup membantu, apalagi untuk berbagai textbook
yang belum dikuasai. Tidak ada pengecualian dalam pembelajaran untuk paramedic
seperti kami. Body-mind-spirit yang
tampak mudah dalam textbook pun
terasa rumit untuk diterapkan, “hanya” karena persoalan manajemen waktu. Beberapa
abstrak selesai saya garap evidence based
untuk melihat sinergisitas ilmu teoris dan klinis.Dan saya puas dengan karya
itu.
Namun, seiring berjalannya waktu pula,
saya mulai menemukan “kejanggalan-kejanggalan” yang berupa “fluktuasi” perasaan dalam menyikapi
(karakter) pasien disini. Rumah sakit yang tengah saya tempati memang “unik”.
Di tengah berbagai berita RS yang menolak pasien karena tak memiliki kemampuan
finansial, RS ini MENOLAK-bahkan “mengusir” dengan halus pasien yang tak lolos
kememberan (kelayakan) untuk menerima santunan DD- pasien yang memiliki cukup
financial. (Meski saya belum tahu parameter lulus tidaknya kememberan untuk
bisa berobat di RS ini.) Namun, satu hal yang menjadi pertanyaan bagi saya
akhir-akhir ini, perbedaan kondisi antara yang “seharusnya” dengan yang
“biasanya”. Beberapa ketidaksinergian antara yang semestinya dan yang biasanya,
serta mengapa yang biasanya dinilai cenderung lebih representative untuk
keberhasilan dalam edukasi pasien dan keluarga dalam rangkaian perawatan.
Semestinya, perawat mampu memberikan
perawatan komprehensif, yang melihat pasien sebagai holistic human, merawat dari hal paling sepele-memandikan pasien atau memenuhi KDM- dari aspek fisik hingga
spiritual mereka. Namun, dalam penerapannya, implementasi acivity daily learning tampak sebagai implementasi yang memanjakan
pasien. Bahkan saya cukup tersindir dengan dikatakan sebagai “kamu perawat baik, say amah perawat jahat”
karena kedekatan saya dengan pasien, dan cara edukasi serta perawatan khusus
saya.
Tak ada yang patut disalahkan. Perbandingan
1:8 atara perawat dan pasien, menuntut kami untuk melibatkan keluarga dalam
perawatan pasien. Meski banyak pula karakter keluarga pasien yang “dikasih
jantung minta hati”. Tak cukup pengobatan full free, tapi menginginkan pelayan
prima yang tak menerima alasan apapun. Juga dengan karakter “rewel” yang
pantang kami sebut rewel, melainkan keunikan pasien dan keluarga.
Masih melekat dalam ingatan, saat
dosen saya mengatakan bahwa munculnya masalah “ulkus dekubitus” adalah
KESALAHAN perawat yang tidak memperhatikan kompresi punggung pasien bedrest. Dalam
berbagai aksus di tempat ini, untuk masalah pruritus atau gatal di punggung pun
sering kali tidak terjamah oleh perawat. Saya sadar, dan saya mengaku malu, ketika
suatu waktu masalah “keringet buntet” yang ternyata muncul pada pasien sudah 3
hari tidak terdeteksi oleh saya dan rekan-rekan sejawat. 24 jam waktu perawatan
pasien oleh 3 shift perawat ternyata belum “apik” untuk diaplikasikan disini.
Saya sadar, saya pun SEMESTINYA belajar dari pengalaman, bahwa sebenarnya masih
ambigu tentang formulasi terbaik dalam hubungan antara perawat dan pasien,
dalam komunikasi terapeutik perawat terhadap pasien, dalam setiap intervensi
perawat terhadap pasien, khususnya dalam karakter pasien di RS sejenis ini,
dengan karakter pasien pendidikan di bawah rata-rata.
Pun ketika intervensi “building trust” coba saya implementasikan,
memunculkan masalah ketergantungan pasien terhadap perawat. Baru kali ini pula,
terfikir bagi saya pentingnya kesan “galak” perawat bagi pasien. 24 jam
melayani pasien dalam kelembutan hanya menjadi “kelembekan”, membuat mereka “”manja,
setidaknya begitu istilah rekan kerja saya. Dan seringkali saya akui itu.
Komunikasi-komunikasi halus kami, seringkali justru disalahgunakan oleh mereka. Komunikasi tanpa “kesan jutek” hanya
membuat mereka manja, yang berujung pada lamanya proses penyembuhan mereka.
Sebagaimana mendidik anak kecil dengan 2 pilihan, dalam didikan keras dan
lembut, maka itu pula pilihan yang ada dalam menghadapi pasien. Hanya, disini
“ketegasan” juga menginisiasi complain “langsung” mereka kepada manjemen yang
berimbas pada tataran pelayanan.
“Kelembekan” kami, seringkali membuat mereka
tak segan sedikitpun atas kami. “Meminta” hal sekecil apapun yang sebenarnya
tidak “pantas mereka minta”, setidaknya sebagai sesama manusia untuk bisa
saling “memahami”. Dalam kesibukan, bahkan seringkali pasien memanggil kami,
“sekedar meminta untuk dibukakan makanan-misal. Atau keluarga yang meminta
untuk ikut diperiksa saat saya memeriksa tekanan darah pasien 1 ruangan yang
berisi 8 bed berisi full pasien, saat pasien meminta obat berulangkali meski
edukasi atas keluhan yang muncul juga sudah diberikan berulang kali, saat
pasien yang seolah-olah mengajari kami saat kami memberikan obat dengan “rute”
pemberian obat yang kami berikan. Meski kadang saya bisa memakluminya sebagai
efek “tekanan” pasien dan keluarga atas sakit yang tak kunjung sembuh, namun
saat kesabaran dalam keterbatasan kelelahan fisik membuat kami ingin memperbaiki
“paradigm” teori komunikasi terapeutik. Meski saya pun seringkali merasa
bersalah usai “menolak” pemrintaan tolong yang kami nilai di luar prioritas.
Sungguh…, kami hanya ingin prioritas tindakan untuk pasien terpenuhi, dalam
keterbatasan tenaga fisik. Prioritas dari lifesaving
hingga pemenuhan ADL, meski masih banyak pula complain dari keluarga
pasien. Kami hanya menginginkan yang terbaik untuk kondisi terbaik bagi pasien
atau penerima manfaat.
Kini, adalah tugas untuk masing-masing
tenaga paramedic yang menjadi “frontdesk”
dalam pelayanan kesehatan. Komunikasi seperti apa yang semestinya diterapkan,
sehingga terbentuk hubungan “profesional” yang menumbuhkan perasaan yang
“TEPAT” bagi mereka. Untuk sebuah hubungan yang tidak dipandang serba salah.
Bukan “galak” juga bukan memanjakan. Mendidik dalam perawatan prima , bukan
memanjakan dengan pelayanan prima.
Memprioritaskan prioritas, dan memanajemen diri. Saat tugas ini
terpenuhi, dengan peningkatan kapasitas perawat dalam segala aspek keilmuan
medis, adalah bukan hal yang mustahil untuk menjadikan perawat sebagai
“professional” baik secara hakikat maupun “perspektif dan persepsi” penerima
manfaat keilmuan kami. [MH]
(Tulisan ini dibuat dari sudut pandang perawat sebagai tenaga medis yang
mencoba untuk professional dalam segala aspek perawatan, tanpa bermaksud
menyinggung pihak manapun. Jika pun ada yang kurang berkenan, semoga menjadi
bahan tenungan bersama.) ^_^ V
Bogor, 29 Juni 2013
23:55